28 - Final Decision

2.7K 461 79
                                    

Gue bisa ngerasain tatapan penuh amarah dari Marissa pas dia duduk berhadapan sama gue, sementara orang tua kami ada di sisi kanan-kiri masing-masing. Matanya memerah, dan beberapa kali gue lihat dia mengusap sudut matanya yang gue yakin banget bukan karena air mata bahagia. Mamanya nggak berhenti mengusap lengan gadis itu sepanjang acara.

Hari ini acara lamaran gue sama Marissa. Abi nggak mau banget nunda lama, yang kayaknya disepakati juga oleh orang tua Marissa. Persiapan beneran kilat. Tiba-tiba aja gue udah ditarik buat fitting baju, disodorin daftar seserahan, model undangan mau yang gimana, dan segala tetekbengek yang nggak gue peduliin.

Selain soal fitting, gue nyerahin semuanya ke Mami. Kalau bisa, gue bakal biarin Abi aja yang fitting. Tapi karena nggak bisa, gue terpaksa datang sendiri. Persiapan udah rampung sembilan puluh persen. Tinggal nunggu hari H.

H for hell.

Kayak yang gue bilang ke Audri, gue udah nggak peduli hidup gue habis ini bakal gimana. Ngelihat gimana Marissa sekarang, gue sama sekali nggak ngerasa apa-apa. Nggak ada rasa bersalah, atau gimana. Gue nggak peduli. Orang tua gue sama Marissa aja nggak peduli sama pendapat kami. Bukan cuma gue yang nolak, Marissa udah sampe ngamuk sama orang tuanya, tapi acara sialan ini masih tetap berlangsung.

Jadi gue sama dia sekarang udah sama-sama di titik pasrah dan harus siap jalanin hidup bareng di neraka. Tinggal nunggu waktu sampai gue sama dia beneran saling benci terus saling bunuh supaya bebas. Mungkin habis itu nanti orang tua kami baru puas.

Gue yakin nggak ada gurat bahagia sama sekali di muka gue sama Marissa sepanjang acara. Begitu acara inti selesai, gue pamit ke luar buat ngerokok. Sempat ditahan Mami, juga dapat tatapan memperingatkan dari Abi, tapi gue nggak peduli dan tetap melangkah ke luar.

Acara dilangsungkan di rumah Marissa. Terlalu berlebihan bagi gue buat acara lamaran doang. Dekorasinya udah kayak resepsi, lengkap sama meja prasmanan dan suvenir. Gue nggak ngerti kenapa juga sampai harus ngundang banyak orang cuma buat lihat gue sama dia tukar cincin. Harusnya antar-keluarga aja cukup. Tapi karena bukan gue yang ngurusin, terserahlah.

Gue melangkah menjauhi rumah utama, melintasi halaman yang luasnya saingan sama lapangan bola, menatap deretan mobil tamu yang terparkir sepanjang jalan sampai ke gerbang depan. Satpam penjaga rumah bergegas berdiri pas melihat gue mendekat.

“Ada yang bisa dibantu, Pak?”

Gue mengangguk. “Bisa numpang ngerokok nggak? Sekalian ngumpet?”

Pak Samsul, satpam itu, menatap gue bingung beberapa saat, tapi akhirnya mengangguk, membiarkan gue masuk ke ruang berukuran 2x2 yang jadi tempat kerjanya. Ukuran ruangan itu kecil, tapi isinya lumayan lengkap. Ada sebuah sofa yang bisa diduduki dua orang, meja kopi, dan kulkas mini. Selain itu juga ada set meja-kursi kerja, lengkap sama monitor yang nampilin rekaman CCTV buat ngecek keadaan sekitar rumah.

“Mau minum, Pak?” tawarnya, saat gue udah duduk di sofa, siap menyulut rokok. Beliau membuka kulkas, memperlihatkan isinya ke gue.

“Air putih aja, Pak. Makasih...”

Pak Samsul mengambil sebotol air putih dan menyerahkan ke gue. Lalu beliau kembali duduk di balik kursi kerjanya, membiarkan gue di sana dengan rokok gue. rokok pertama berhasil gue nikmatin tanpa gangguan. Baru mau nyalain rokok kedua, Pak Samsul tiba-tiba berdiri dan bergegas membuka pintu.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”

Nggak ada jawaban. Sesosok perempuan menyelonong masuk, dan seketika terdiam saat melihat gue di sana. Gue sendiri balas menatapnya dengan malas.

“Ngapain lo di sini?”

Gue mengangkat rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan tengah tangan kanan gue sebagai jawaban.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang