31 - If

3.3K 474 115
                                    

Gue terbangun, merasakan sebuah telapak tangan menyentuh dahi, lalu berpindah ke pipi dan leher gue. Baru mau membuka mata, rasa menusuk menyerang kepala gue seketika, bikin gue mengurungkan niat dan tetap memejamkan mata sampai rasa menyiksa itu berkurang. Samar-samar, gue mendengar suara orang berbicara.

“Iya, gue nggak ke salon hari ini. Lo pegang klien gue ya. Bilang jujur ajalah, laki gue sakit. Oke, thank you. Bye.”

Gue sedikit membuka mata, melihat Marissa berdiri di depan jendela kamar dengan ponselnya. Gue pikir dia udah selesai nelepon, tapi kayaknya tebakan gue salah karena kemudian dia kembali menempelkan ponselnya di telinga.

“Halo, Ma,” sapanya. “Aku baik. Zac yang lagi nggak enak badan. Ini makanya nelepon mau bilang kalau ntar nggak bisa ke sana kayaknya. Minggu depan aja gimana?”

Hening sebentar, kemudian gue mendengarnya lanjut bicara. “Iya, ntar aku coba bawa ke dokter pas dia bangun. Iya, Ma. Bye...” Dia menutup telepon,lalu berbalik ke arah gue, agak kaget pas lihat gue udah bangun.

“Gue nggak sakit,” gumam gue. “Cuma pusing, kebanyakan minum kayaknya. Ntar juga enakan.”

Marissa mendekat, lalu duduk di tepi kasur dekat tempat gue berbaring. “Muka lo juga udah nggak pucat sih. Semalam pucat banget habis lo muntah. Gue kira bakal pingsan. Untungnya nggak.” Dia kembali meraba dahi gue. “Tapi nggak papa, lo mending istirahat. Makan malamnya bisa minggu depan.”

“Lo nggak harus bolos kerja,” lanjut gue.

Dia mengangguk. “Ntar siangan aja gue berangkat. Lo mau sarapan di sini? Gue minta Bi Ita bikin bubur ayam. Itu obat hangover gue. Enak, anget.”

Gue bangkit duduk perlahan. “Makan di meja aja, ayamnya biar gue ambil sendiri.”

“Oke.” Marissa berdiri, lalu berjalan lebih dulu meninggalkan kamar, sementara gue ke kamar mandi buat cuci muka sama sikat gigi.

Sakit kepala gue rada berkurang habis cuci muka. Tapi tenggorokan gue kerasa kering banget, tambah lagi mulut gue juga pahit. Gue berjalan keluar kamar, menuju meja makan. Kayak yang dibilang Marissa, udah ada bubur ayam lengkap sama topping-nya di meja. Marissa mengambil mangkuk dan mengisinya dengan bubur.

“Mau seberapa?” tanyanya.

Gue rada kaget lihat dia mau ngambilin gue makanan. Biasanya selalu ambil sendiri-sendiri.

“Segitu aja,” ucap gue, pas dia udah menuang dua centong ke mangkuk, lalu mengambil mangkuk di tangannya. “Thanks.”

Marissa mendekatkan wadah berisi topping ke arah gue. Gue mengambil sendiri kacang, daun seledri, bawang goreng, juga potongan cakwe. Pas ngambil ayam, gue menyingkirkan bagian kulit sebelum menuang suiran daging ke mangkuk. Begitu gue mulai makan, Marissa baru mengambil bubur buat dia sendiri, seolah emang nungguin gue makan duluan.

Itu bikin gue jadi canggung sendiri.

“Lo nggak mau ke dokter?” tanya Marissa, sembari menikmati bubur ayamnya.

Gue menggeleng. “Habis makan juga enakan.”

Dia berdecak. “Lo tuh kalau nggak kuat minum, nggak usah sok minum banyak makanya.”

Gue nggak tahu harus bersyukur apa gimana karena dia beneran percaya alasan gue muntah semalam murni karena kebanyakan minum. Bukannya gue bakal ngasih tahu dia alasan benernya. Tapi itu bikin gue jadi ngerasa bersalah.

Nggak cuma sampai di sana, begitu selesai makan, Marissa biasanya langsung nyelonong pergi dari meja makan. Tapi kali ini dia mengambil alat makan kotor yang gue sama dia pakai, dan membawanya ke wastafel. Dia nggak nyucinya emang, tetap aja bikin gue bingung.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang