30 - First Trial

3.1K 451 65
                                    

Gue nggak tahu kenapa pernikahan jadi sesuatu yang penting, istimewa, buat kebanyakan orang. Gue nggak ngerasain letak istimewanya di mana. Mungkin karena gue terikat sama orang yang nggak gue harapin, atau emang ekspektasi orang-orang ke hal itu kelewat tinggi, nggak sesuai sama gue.

Marissa pegang omongannya soal nggak ngasih larangan sentuhan, walaupun kenyataannya sampai sekarang nggak ada skinship antara gue sama dia kecuali pas Akad. Gue sama dia tidur sekamar, satu kasur, tapi saling munggungin. Kami masih dua orang asing yang kebetulan harus berbagi atap. Jarang banget gue sama dia ngabisin waktu bareng di rumah. Senin sampai Jumat, gue sibuk kerja. Sabtu sama Minggu kadang libur, kadang lembur. Kebalikan Marissa yang lebih sering punya waktu luang pas weekdays, dan sibuk tiap weekend karena salonnya full booking pas akhir minggu, kadang sampai ada pelanggan khusus yang mau dipegang langsung sama dia.

Bukannya gue keberatan. Gue malah bersyukur. Jadinya hasrat kami buat saling bunuh masih belum muncul sampai sekarang.

Sabtu ini, sama kayak sebelum-sebelumnya, gue bisa santai di rumah, sementara Marissa siap-siap buat kerja. Dia udah dandan rapi pas gabung sama gue di meja makan, siap menikmati sarapan.

Soal urusan rumah, ada Bi Ita, asisten rumah tangga yang sebelumnya kerja sama orang tua Marissa, yang bantuin. Beliau datang pagi buat nyiapin sarapan, bersih-bersih rumah, nyuci-nyetrika pakaian, terus pulang. Nggak pake nginep.

Sebenarnya gue nggak keberatan berbagi urusan rumah sama Marissa, nggak perlu pake ART. Gue udah mulai terbiasa ngelakuin semuanya sendiri. Tapi Marissa nggak mau. Dia beneran tipikal Nona Muda manja yang nggak pernah ngerasain susah, selalu terima beres.

Mungkin sifat kami nggak bakal beda jauh kalau aja gue nggak pernah ngerasain tinggal misah  dari orang tua dan mulai mandiri.

“Gue kayaknya pulang malam,” ujar Marissa, sambil menikmati sarapannya.

Gue cuma mengangguk.

“Oh, sebelum lupa, besok kita diajak makan malam di rumah Mama.”

“Dalam rangka apa?”

“Nggak ada, makan aja. Emang makan malam keluarga harus ada momen dulu gitu?”

“Ya kali aja ada sesuatu, gue jadi bisa mikir mau bawa apa.”

Dia berdecak. “Cukup bawa badan.”

Gue mengangguk lagi, menghabiskan nasi goreng dan kopi, lalu membawa piring dan cangkir kotor ke wastafel. Baru mau nyuci alat makan kotor itu, Bi Ita menahan gue dengan wajah panik.

“Saya aja, Mas.”

“Nggak papa, dikit juga.” Gue udah meraih spons.

Bi Ita bergegas mengambil spons dari tangan gue. “Jangan, Mas. Nanti Mbak Marissa marah.”

Gue melirik Marissa yang tampak fokus dengan sarapannya sambil memainkan ponsel. Karena males ribut perkara cuci piring doang, gue akhirnya ngebiarin Bi Ita yang ngelakuin.

“Mas Zac masih butuh sesuatu?” tanya Bi Ita, pas lihat gue masih di dapur.

Gue menggeleng, berjalan ke ruang tengah dan menyalakan TV, bertepatan dengan Marissa menyelesaikan sarapannya.

“Gue berangkat,” pamitnya.

“Hm,” balas gue, sambil melihat-lihat daftar film.

Sekitar sepuluh menit, gue cuma ngelihatin deretan judul sampai akhirnya milih judul acak, lalu meletakkan remote TV dan ganti meraih ponsel.

Akun Marco muncul paling atas pas gue buka Instagram, bikin gue terpaku sejenak. Fotonya memperlihatkan dia bareng empat orang lain. Tiga cewek, satu cowok. Gue udah bilang udah lama nggak ngepoin dia, dan nggak pernah sampai stalking orang-orang di sekitarnya. Tapi cowok asing di foto itu bikin gue pengin kepo. Pas lihat kalau Marco menandai orang-orang di foto itu, gue membuka akun si cowok asing.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang