18 - Upset

3K 404 60
                                    

“Zac...”

Gue, yang lagi nyari celana dalam dari lemari, menoleh ke Marco yang masih duduk di tengah kasur dengan selimut tersampir di bahunya. “Hm?”

“Kalau aku nggak ikut... gimana?”

Dahi gue mengernyit. “Kok gitu?” Gue menarik salah satu boxer hitam, lalu menutup pintu lemari. “Tiba-tiba banget? Ini nikahnya sahabatku loh. Kamu juga kenal baik.”

Marco menarik selimut hingga menutupi kepalanya. “Kepikiran aja nanti suasananya jadi nggak enak. Orang tua kamu juga pasti dateng kan?”

“Ini acara Ares, bukan acara orang tuaku,” ujar gue, masih nggak bisa ngerti sama keputusan tiba-tibanya ini.

“Abi kamu benci sama aku.”

No. He hates us,” ralat gue. “Kamu sama aku, nggak akan aku tinggal berdua Abi doang. Lagian Abi nggak bakal malu-maluin dirinya sendiri di acara orang. Tenang aja.” Gue berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Marco yang masih tampak berpikir.

Hari ini acara nikah Ares sama Kila. Akad, langsung dilanjut sama resepsi. Gue udah bilang bakal dateng sama Marco, Ares bahkan ngasih dia seragam juga. Gimana bisa Marco tiba-tiba mikir buat nggak dateng?

Selesai bersih-bersih, gue mengeringkan badan, memakai boxer, lalu balik ke kamar dan mendapati Marco masih di posisinya sambil main ponsel. Dia bergeming pas lihat gue udah selesai mandi, nggak ada tanda mau turun dari kasur buat gantian mandi.

Gue jadi mulai ngerasa kesal. “Seriously?”

Dia menatap gue, menjatuhkan ponselnya di kasur. “Aku nggak mau ngerusak acara orang, Zac.”

Gue menarik pakaian dari lemari dan memakainya. “Kita cuma tamu, Co. Yang nggak suka lihat kita cuma Abi. Nggak bakal sampe ngerusak acara.”

“Kamu ngerasa nggak kalau kita dateng berdua jadinya kayak nantangin abi kamu?”

That’s his problem. Not us.”

He is your father. I just try to respect him.”

Gue menutup pintu lemari agak lebih keras dari yang gue niatkan. “Itu acara Ares. Dia yang ngundang kita, ngundang KAMU, buat dateng. Tujuan kita dateng buat menghargai undangan dia, bukan buat bikin Abi kesal.”

Marco diam, namun masih menatap gue.

Gue membuka laci lemari paling bawah untuk mengambil salah satu ikat pinggang, lalu memakainya. Nggak ada lagi yang bersuara sampai gue selesai bersiap. Sambil mengenakan jam tangan, gue kembali menghadap Marco.

“Beneran nggak mau dateng?” tanya gue lagi.

Melihat Marco masih diam, gue menyambar dompet dan ponsel dari nakas, lalu memasukkannya ke saku celana. Gue nggak berkata apa-apa lagi, memilih meninggalkan kamar.

Kalau dia nggak mau dateng, ya udah. Gue nggak bakal maksa.

Gue meraih paper bag di meja makan, berisi kado dari gue sama Marco. Pas baru mau pakai sepatu, gue mendengar pintu kamar dibuka. Gue menoleh, melihat Marco berdiri di sana, menyandarkan bahunya di pinggiran pintu, menatap gue.

Gue kira dia mau bilang kalau dia berubah pikiran, minta gue nunggu sementara dia siap-siap. Tapi ternyata dia cuma diam di sana. Sampai sepatu gue terpasang sempurna, nggak ada tanda kalau dia berubah pikiran. Gue berdiri.

“Aku berangkat,” ucap gue.

“Hati-hati,” balasnya.

Gue hanya berdeham, seraya berjalan keluar. Gue kesal, jelas. Tapi nggak sepenuhnya ke Marco. Ada rasa kesal ke diri sendiri karena bikin situasi gini harus ada.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang