21 - Break Up

3.1K 423 70
                                    

Gue nggak kaget pas datang ke restoran yang dibilang Abi dan nggak cuma ada orang tua gue di sana. Gue udah bisa nebak apa mau Abi. Jadi pas lihat ada tiga orang lain di meja itu, gue berusaha nahan diri dan tetap bersikap sopan.

“Wah... ini Zacree? Sudah besar ya...” sapa seorang laki-laki sebaya Abi, begitu gue duduk.

Abi merangkul gue, meremas bahu gue kuat seolah ngasih peringatan biar gue nggak macem-macem. “Ini Om Dodi, teman Abi.”

Gue menyunggingkan senyum kecil sambil mengulurkan tangan buat memperkenalkan diri. Di sebelah pria itu, duduk sosok yang udah gue kenal. Beda sama gue yang berhasil nyembunyiin rasa kaget, Marissa kelihatan jelas kaget campur bingung.

Selama acara makan malam itu, gue sama Marissa lebih banyak diam, kecuali pas ditanya. Obrolan didominasi para orang tua, terutama Abi sama ayahnya Marissa. Awalnya bahas kisah mereka pas kuliah, berbagi pengalaman selama kerja, sempat bahas juga soal Abi yang bakal pensiun bulan depan. Sampai akhirnya mereka mulai nyinggung topik yang paling gue benci.

“Anak-anak itu kadang merasa mereka paling tahu yang terbaik, kalau orang tua ikut campur langsung ajak kita debat, merasa mereka paling benar,” ujar Om Dodi, yang disambut anggukan oleh Abi.

Gue memilih menatap gelas berisi iced chocolate yang baru gue minum sedikit.

“Apalagi Marissa ini. Nggak pernah beruntung soal laki-laki,”Om Dodi melanjutkan. “Yang terakhir itu paling parah. Hampir ditipu dia. Dibilang mau diajak menikah, mulai usaha bareng-bareng. Kalau aja aku nggak ikut campur, hilang sudah uangnya miliaran dibawa kabur laki-laki itu.” Beliau geleng-geleng kepala.

Gue melirik Marissa yang sekarang terlihat masam.

“Aku berkali-kali bilang, nggak usah termakan omongan laki-laki yang bilang mau ajak meniti dari bawah. Lebih baik cari yang mapan, yang bibit-bebet-bobotnya jelas.”

“Harusnya memang seperti itu,” ujar Abi. “Zac ini juga sama saja. Nggak pernah benar soal pasangan.”

Gue menggigit pipi bagian dalam, upaya biar nggak nyeplos.

“Kena tipu juga?”

Abi menggeleng. “Cuma dibikin bodoh.”

Kedua bapak itu tertawa seolah udah melontarkan jokes paling lucu sepanjang masa. Gue berdiri, membuat tawa mereka terhenti.

“Saya ke toilet sebentar,” pamit gue, lalu bergegas pergi dari sana.

Gue memilih keluar dari restoran itu lewat pintu samping, luput dari pandangan orang-orang di meja Abi. Sambil bersandar di dinding, gue mengeluarkan rokok dan mulai menyulutnya.

“Gue nggak mau dijodohin sama lo.”

Suara itu sontak bikin gue menoleh. Marissa ternyata ngikutin gue, dan sekarang udah berdiri di depan gue dengan tangan terlipat di depan dada.

“Emang tampang gue kelihatan kayak girang apa mau dijodohin sama lo?” balas gue, ketus.

Marissa mengentakkan kakinya kesal. “Gue nggak bakal menang lawan orang tua gue, apalagi Papa. Jadi lo yang harus nolak rencana mereka sekarang.”

“Nggak bisa gitu dong. Kita sama-sama nggak mau, ya kita tolak sama-sama juga.”

“Lo denger omongan gue nggak sih?” gerutunya. “Papa masih marah banget karena gue hampir kena tipu. Gue nggak mau bikin dia tambah marah sama gue.”

“Ya, lo makanya pinteran dikit kek cari pacar.”

“Bilang ke gue Marco jomlo, gue kenalin dia ke bokap gue sekarang.”

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang