12 - Safe Place

3.2K 367 34
                                    

Gue membereskan barang-barang dari atas meja kerja, bersiap buat pulang. Marco udah ngabarin kalau dia di apartemen gue, jadi gue pengin cepet sampai rumah. Sebenernya pas dia nggak di tempat gue pun gue selalu langsung pulang karena males kelayapan. Tidur udah paling enak habis kerja seharian.

Baru berdiri dari kursi, Baim, sesama pegawai baru yang mejanya di depan gue, negur gue. “Langsung pulang kan lo?”

Gue mengangguk. “Kenapa? Mau nebeng?”

Dia merangkul gue. “Senior mau nge-bar. Ikut yuk?”

“Nggak ah. Nggak diajak, pede banget lo mau gabung.”

Baim berdecak. “Ini tuh kesempatan kita buat membangun hubungan baik. Biar makin sering diajak gabung proyek mereka.”

“Ya, tapi awkward banget lah kalau kita sotoy aja main gabung. Malu-maluin.”

Belum sempat Baim balas omongan gue, Debby, salah satu senior di sana yang ternyata dengar percakapan gue sama Baim, ikut nimbrung. “Udah gabung aja. Cuma nongkrong sambil ngobrol. Nggak ada junior-senior kalau udah di luar jam kerja.” Dia lalu agak meninggikan suaranya. “Eh, ajak nih anak-anak gabung, biar makin rame.”

Baim langsung kelihatan semringah, sementara gue mulai panik karena mikirin alasan buat nolak. Gue nggak pengin ke bar. Gue mau pulang.

“Udah, yuk!” Debby langsung memeluk lengan gue sebelum gue sempat ngomong apa-apa, dan narik gue meninggalkan kantor. “Gue nebeng lo ya? Sekalian nunjukin jalan?”

“Eh—” Gue menggaruk leher. Begitu sadar nggak bisa lagi kabur, gue akhirnya pasrah. “Mbak, saya ke sana bentar ya. Mau nelepon,” ujar gue, begitu kami sudah di basemen.

Debby mengangguk.

Gue menjauh seraya mengeluarkan ponsel buat nelepon Marco.

“Halo?” sapanya. “Udah jalan pulang?”

“Sebenernya udah. Tapi aku ditarik ikut ngumpul,” ujar gue. “Mau nolak, tapi senior yang ngajak. Aku jadi nggak enak. Ini mau ngabarin kamu kalau aku pulangnya telat.”

“Oh... oke, nggak apa-apa. Kamu emang harus sosialisasi sesekali.”

Gue mendengus. “Yang ansos kamu, berani-beraninya ceramah soal sosialisasi.”

Marco tertawa. “Have fun!”

I wish,” gumam gue. “Nggak usah tungguin aku pulang ya. Nggak tahu ini bakal pulang jam berapa soalnya.”

“Iya. Kalau kamu minum, pulangnya naik taksi aja, jangan maksa nyetir. Atau telepon, ntar aku jemput.”

“Oke. Love you.”

“Iya, tahu.”

Gue melotot, walaupun tahu dia nggak bisa lihat. “HEH!”

Marco kembali tertawa, lalu menutup teleponnya. Gue berdecak, seraya memasukan telepon ke saku.

Debby tersenyum pas gue menghampirinya yang sudah berdiri di sebelah mobil gue. “Udah?” tanyanya. “Izin mama ya?” nadanya kedengeran meledek, tapi gue tahu dia cuma bercanda.

Gue ketawa, seraya membuka kunci mobil. Debby lebih dulu masuk ke kursi penumpang, lalu gue menyusul duduk di balik kemudi.

“Hm, teh?” gumam Debby, pas gue mulai menjalankan mobil. “Enak banget baunya.”

Gue sempet bingung sebentar, tapi nggak lama sadar kalau dia lagi komentarin pewangi mobil gue. “Oh, iya...”

Dulu banget gue pake aroma kopi buat mobil. Tapi wanginya bikin Marco pusing tiap kami jalan pake mobil gue agak lama. Padahal dia nggak anti kopi, malah suka, walaupun nggak rutin ngopi. Jadinya gue minta dia yang pilih mau wangi apa dan dia pilih teh. Ternyata aromanya lebih enak, seger, dan yang paling penting nggak bikin dia pusing.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang