29 - D-day

3.1K 466 107
                                    

Audri mengangkat kaleng sodanya, mendekatkannya ke arah gue. “For your last day as a single person.”

Gue ikut mengangkat gelas berisi minuman. “Semoga lo cepet nyusul.”

Audri menyesap minumannya. “Amin.”

Gue tertawa kecil, ikut menyesap minuman gue. Kami lagi duduk di depan TV apartemen gue, berdua doang, bachelor party sebelum acara besok sekaligus nikmatin hari terakhir gue tinggal di sini. Nggak beneran party sih karena kami beneran cuma berdua. Dia tiba-tiba dateng bawa pizza sama minuman soda, bilang mau nemenin gue pesta.

“Baim tahu kan lo di sini?”

Audri mengangguk. “Ntar dia jemput gue.”

Gue meletakkan gelas di meja, lalu memutar tubuh menghadap Audri. “Jadi, gimana ceritanya lo akhirnya luluh sama dia?”

Audri diam sebentar, tampak menerawang. “Gimana ya bilangnya...?” gumamnya pelan. “Dia tuh... unik. Cowok-cowok yang deketin gue sejak putus sama Al rata-rata sama, berusaha banget nampilin sisi sempurna mereka, nawarin gue kisah cinta indah. Semuanya perlakuin gue baik, baik banget. Beneran nggak mau kelihatan ada cacat di mata gue. Tapi itu malah bikin gue jadi ngebandingin mereka sama Al.”

Gue menahan komentar, membiarkan Audri menyelesaikan ceritanya.

“Baim tuh beda. Dia nggak takut kelihatan konyol di depan gue, ngasih lihat kekurangan dia, nggak maksain buat jadi sempurna di mata gue, gue jadi bisa lihat dia di sisi yang beda. Ibaratnya kalau Al ngasih gue dongeng, Baim tuh nawarin kisah nyata gitu. Dia nggak sempurna, tapi gue juga tahu, he did his best.”

“Terus lo mutusin buat nerima dia?”

Audri nggak langsung jawab pertanyaan itu, milih lanjutin ceritanya. “Lo tahu bulan lalu dia ada kerjaan di Lampung sekitar tiga apa empat hari gitu?”

Gue mengangguk.

“Pas hari dia berangkat, gue ada kecelakaan kecil di lab. Tangan gue kebakar,” Audri memperlihatkan bekas luka kecil yang mulai samar di bagian dalam pergelangan tangannya. “Nggak parah sih, tapi lumayan sakitnya. Gue sampe ke UGD,” ujarnya. “Malemnya dia nelepon. Biasa sih teleponan gitu. Terus gue cerita soal kecelakaan gue itu. Dia nanya gue gimana, lukanya gimana. Nadanya biasa, nggak kedengeran panik berlebihan gitu. Cuma minta video call buat lihat lukanya. Habis dia yakin gue nggak papa, gue bilang juga lagi nginep di rumah Papa, gantian gue yang nanyain kerjaan dia di sana, gitu-gitulah. Terus udah, tutup telepon sekitar jam tujuh, dia nyuruh gue istirahat. Lo tahu habis itu? Jam setengah dua belas dia nongol di depan rumah.”

Gue melongo.

“Dia dimarahin Papa karena paginya tuh harus ketemu klien yang di sana. Tapi dia janji nggak bakal telat, udah pesen tiket subuh buat balik ke Lampung. Bilang bakal tidur di bandara biar nggak telat. Gue juga ngomel, kan, ngapain sampe dateng? Ngabisin ongkos aja. Dia bilang tadinya mau nggak terlalu mikirin, cuma tetap kepikiran dan mau lihat langsung gue beneran nggak papa. Jadi dia beli tiket bolak-balik cuma buat itu. Bego banget, kan?”

Dia bilang bego, tapi mukanya berseri-seri, bikin gue jadi ikutan senyum.

“Pas itu gue sempet nanya, gimana kalau gue beneran nggak bisa ngasih dia status jelas. Dia bilang ya nggak papa, yang penting udah usaha. Kalau gue mau dia berhenti, gue cuma perlu ngasih tahu dan dia bakal berhenti.”

“Terus?”

“Gue bilang jangan berhenti.” Audri menyeringai. “Udah, anggep aja pas itu official-nya.”

“Pake ciuman?”

Audri memukul kepala gue dengan bantal sofa.

Gue mendengus. “Gue tahu lo sama dia udah cium-cium dari sebelum resmi.”

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang