22 - Something in Between

2.9K 386 47
                                    

“Gimana obrolan sama orang tua lo?” tanya Marissa.

Gue sama dia lagi di bangunan bakal salonnya, ngelihatin pekerja mulai kerjaannya. Mendengar pertanyaan itu bikin gue ingat lagi sama perdebatan gue sama Abi Sabtu lalu.

“Lo sendiri gimana?” gue balas bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari pekerja.

“Gagal total. Papa bilang baru bisa batal kalau pihak Om Fariz yang batalin.” Dia melipat tangannya, lalu memutar tubuh menghadap gue. “Jadi, sekarang tergantung elo.”

“Bokap gue belum hubungin bokap lo?”

Marissa menggeleng.

Gue menghela napas. “Tungguin aja.” Kemudian gue berjalan keluar dari sana. “Gue balik duluan.”

Marissa menahan lengan gue. “Lo udah bilang ke Om Fariz kalau lo nolak kan?”

“Udah.” Nggak cuma batalin perjodohan, gue juga udah dipecat sebagai anak, lanjut gue dalam hati.

Marissa tampak nggak yakin sama ucapan gue, tapi tetap membiarkan gue pergi dari sana.

Gue berusaha nggak terlalu mikirin persoalan gue sama Abi dan tetap jalani hidup gue. Bohong kalau gue bilang nggak sedih. Tapi, kayak yang gue bilang ke Mami, kalau dengan gini bikin Abi lebih tenang, nggak uring-uringan terus mikirin gue, ya udah.

Karena udah mau jam makan siang, gue mutusin mampir ke drive thru makanan cepat saji buat beli makan siang dan makan di kantor. Gue pengin hari ini cepetan selesai, biar cepet besok dan gue bisa ketemu Marco.

Lift gedung mulai sibuk pas gue nyampe kantor. Udah jam istirahat makan siang, nggak heran ada beberapa mas-mas delivery online ikutan nunggu lift bareng gue dengan plastik bawaan masing-masing yang gue yakini isinya makan siang orang-orang di gedung ini. Salah satu Mas delivery itu keluar di Lantai kantor gue. Gue langsung jalan menuju meja gue, sementara Mas itu disapa satpam.

“Ada kiriman makanan buat Mas Baim,” ucapnya. “Dari Mbak Audri.”

Nama pengirim yang disebut otomatis bikin gue berhenti melangkah. Entah emang dasar lagi sial atau apa, bukan cuma gue yang dengar nama itu, tapi juga Om Rian yang baru keluar dari kantornya bertepatan sama si kurir nyebut nama Audri. Gue melirik Om Rian yang menoleh ke arah si kurir, lalu berpaling ke gue dengan wajah masam.

Gue menelan ludah. Ini yang lagi pendekatan siapa, kenapa gue yang dipelototin?!

Gue memutus pandangan sama Om Rian, mendapati kurir tersebut meletakkan tas kanvas bawaannya di meja resepsionis, kemudian pergi. Baru mau lanjut jalan ke meja gue seolah nggak ada apa-apa, Om Rian lebih dulu manggil.

“Ke ruangan saya, sekarang.”

Mampus udah, siapa yang berhubungan siapa yang disidang coba?

Tapi gue nggak bantah. Nggak bisa juga mau ngelawan. Dengan pasrah, gue meletakkan plastik berisi McD yang rencananya bakal jadi makan siang gue di meja resepsionis, lalu berjalan menuju ruang kerja Om Rian.

Om Rian nggak langsung bahas soal kiriman Audri ke Baim barusan. Beliau lebih dulu bahas soal proyek gue soal salonnya Marissa, nanya udah sampe mana, apa yang kurang, dan semacamnya. Semua gue jawab dengan lancar.

“Jadi, itu beneran kiriman Audri? Buat Baim? Ibrahim?” Om Rian menatap gue tajam.

Sidang dimulai.

“Kayaknya gitu, Pak,” jawab gue.

“Sejak kapan Audri kenal dia?”

“Di nikahan Kila kalau nggak salah.”

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang