36 - Deja Vu

4.1K 413 107
                                    

Hampir tengah malam pas mobil gue kembali berhenti di depan rumah Marco buat nganter dia pulang. Suasana rumah itu kelihatan udah sepi dan gelap. Cuma lampu teras yang kayaknya masih nyala.

Marco melepas seatbelt-nya. “Thank you,” ucapnya.

“Harusnya aku yang bilang gitu,” balas gue. “Eh, kamu masih di sini sampai tahun baru, kan?”

Marco mengangguk.

“Malam tahun baru udah punya acara?”

“Acara sama siapa?” Dia terkekeh pelan. “Nggak ada sih. Kenapa? Ngajak tahun baruan bareng?”

“Mau?”

Dia nggak langsung jawab. “Deja vu nggak sih?” gumamnya. “Gue masih nggak suka suara berisik kembang api.”

I know. Nggak pake suara kembang api.”

“Mau ke mana emang?”

Sejujurnya gue nggak tahu. Gue cuma pengin ngelewatin malam tahun baru sama dia. Di situasi gini gue rada bersyukur punya otak yang nggak bego-bego amat, jadi suka cepat nemu solusi atau ide yang sebelumnya nggak ada.

“Audri mau bikin acara. Makan-makan aja sih, sambil ngobrol. Sekalian kumpul-kumpul. Dia mau nikah tahun depan.”

Gue bakal langsung nelepon Audri pas nyampe apartemen nanti.

Marco tampak tertarik. “Oke.”

Senyum gue langsung terkembang. “Aku jemput jam berapa enaknya?”

“Terserah. Jam tujuh?”

Perfect.”

Marco ikut tersenyum. “Ya udah, gue masuk ya? Lo hati-hati nyetirnya.”

Gue mengangguk.

Marco membuka pintu mobil, kemudian turun. Gue masih belum menjalankan mobil pas dia udah masuk ke dalam pagar. Begitu gue lihat lampu kamarnya yang ada di Lantai dua rumah itu menyala, gue baru menginjak pedal dan meninggalkan tempat itu.

Sesuai niat, begitu sampai di apartemen, gue mau langsung nelepon Audri. Gue yakin tuh anak belum tidur walaupun udah jam segini. Kerjaan dia sama kayak gue, bikin jadi manusia kalong.

Gue baru melepas sepatu dan meletakkannya ke rak, mau nyari nomor Audri di kontak, pas sebuah chat masuk.

Gue terduduk di depan pintu membaca chat itu. Nggak ada yang aneh dari isinya. Cuma nanya gue udah sampai di rumah apa belum dan minta dikabarin kalau udah nyampe. Chat biasa aja. Pengirimnya yang luar biasa. Luar biasa buat gue.

Barusan aja nyampe.

Okay. Mau mastiin aja.
Good night, Zac..

Good night, Co

Chat terakhir gue cuma dibaca, nggak ada balasan lagi. Gue menyandarkan bahu di dinding, menatap chat singkat itu, lalu menghela napas.

I still love him that much.

Perasaan gue buat dia nggak berubah, sama sekali. Gue cuma sempat terbiasa tanpa dia, tapi nggak pernah berhenti sayang.

Gue melanjutkan niat mencari nomor Audri dan menekan panggilan telepon. Nggak butuh nunggu lama sampai telepon gue diangkat dan suara Audri masuk ke pendengaran gue.

“Ngapa lo nelepon jam segini?” tanyanya.

Gue nggak langsung bersuara, menatap ujung jemari kaki gue dan lantai bergantian.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang