15 - Move In

4K 346 67
                                    

Marco salah besar kalau ngira persoalan beasiswa dia dibiarin lewat gitu aja. Gue emang nggak bisa maksa dia. Beda kasus pas cerita itu sampai ke telinga kakaknya. Gue nggak ngikutin langsung kejadiannya, tapi dari cerita Marco beneran jadi rame.

Marco sebenernya nggak mau cerita ke Anna, karena dia tahu kakaknya itu nggak bakal diam aja. Dan benar. Begitu dapat cerita dari mama mereka, Anna nggak tinggal diam. Dia datengin instansi yang bersangkutan, langsung bawa pengacara. Sempat ada perdebatan, sampai rencana mau bawa permasalahannya ke ranah hukum. Tapi akhirnya mereka sepakat damai dan cari jalan tengah yang enak buat kedua belah pihak.

Marco tetap nggak bisa jadi pengajar di sana, tapi dia nggak harus bayar penalti penuh, cuma bayar uang semester yang udah lewat buat "ganti rugi", yang langsung dilunasi saat itu juga oleh Anna.

"Saya punya banyak kenalan media. Gampang buat blow up masalah ini. Kalau bukan karena adik saya yang nggak mau jadi meluas, kasus ini udah jadi headline di mana-mana. Biar sekalian orang tahu, universitas se-bonafide ini juga udah bersikap diskriminasi."

Itu yang dibilang Anna sebelum dia, Marco, dan pengacara mereka pergi. Gue yang cuma dengar ceritanya aja takjub sendiri. Anna juga bilang kalau Marco masih mau lanjut S-2, mending sekalian ke luar negeri. Nggak usah repot mau mengabdi buat ikut majuin pendidikan negara kalau orang-orangnya aja nggak bisa menghargai manusia.

Gue setuju sama omongan Anna, tapi rada takut juga kalau Marco beneran langsung berangkat ke luar negeri. Bukan apa-apa, susah ketemu karena sama-sama sibuk aja bikin gue jadi gampang badmood, apalagi sampai LDR. Untungnya nggak. Marco masih mau kerja di sini, dan tetap sama rencana awal buat pindah ke luar nanti bareng gue. Pas kami sama-sama udah siap baik mental maupun material. Jelas bukan sekarang.

Kesibukan Marco di kerjaan barunya nggak beda jauh sama pas dia lagi ngambil S-2. Sama-sama sibuk riset. Malah yang ini lebih sibuk lagi.

Gue sendiri juga mulai sibuk ngurusin rumah Ganda, anaknya Pak Gio. Dia emang nggak terlalu banyak mau. Beda cerita sama istrinya. Gue beberapa kali harus ganti desain karena nggak sesuai sama maunya. Walaupun Ganda udah setuju, kalau istrinya nggak sreg, gue masih harus ganti lagi.

Ternyata pegang proyek sendiri nggak seindah bayangan gue. Pantes aja para senior suka sensi kalau udah dekat deadline.

Aku kosong siang nanti.
Mau lunch bareng?

Kebahagiaan kecil gini aja cukup buat ngisi energi gue. Baru mau balas, chat lain Marco lebih dulu masuk.

Sekalian ada yang mau aku omongin.

Dahi gue berkerut. Biasanya kalimat gini endingnya nggak enak. Gue nggak mau mikir jelek, tapi jadi kepikiran. Begitu jam istirahat makan siang dimulai, gue langsung cabut.

Marco udah duduk di salah satu meja dekat jendela pas gue tiba di restoran tempat kami janjian. Dia udah pesenin makanan buat gue dan dia sendiri, yang sekarang udah terhidang di meja.

"Mau ngomong apa?" tanya gue langsung.

"Makan dulu," balasnya, seraya mulai menikmati makanannya.

Dia pesenin gue nasi beef teriyaki, salah satu makanan kesukaan gue, tapi nggak sepenuhnya bisa gue nikmatin kali ini karena pikiran gue udah ke mana-mana.

Dia nggak bakal tiba-tiba minta putus kan? Kami udah beberapa minggu ini nggak ketemu karena emang sama-sama sibuk, tapi gue nggak pake ngambek lagi kok walaupun dia nggak bisa nginep. Kesel sih, karena gue kangen, tapi beneran nggak ngambek. Toh kami masih videocall tiap malam sampe tidur. Paginya juga gue atau dia nelepon, tergantung siapa yang duluan bangun. Termasuk pagi tadi juga masih normal aja.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang