27 - Selfish

2.8K 422 54
                                    

Gue harusnya nggak tidur. Harusnya gue bangun semalaman, sampai pagi. Gue belum puas merhatiin wajah tidur Marco. Belum puas ngerasain embusan pelan napas dia di leher gue. Masih pengin menghirup aroma tubuh dia, nyium dia. Masih mau banget peluk dia selama mungkin. Harusnya gue tahu kalau sisa waktu yang gue punya buat sama dia tuh terlalu sedikit buat gue sia-siain dengan tidur, nggak peduli walaupun semalam akhirnya gue bisa ngerasain lagi tidur nyenyak tanpa terbangun tiap satu jam.

Marco udah nggak ada pas gue bangun. Sisi tempat tidur yang semalam dia tempati, udah terasa dingin. Gue masih menyimpan harap dia cuma lagi di kamar mandi. Tapi pas gue cek, tempat itu kosong. Lantainya kering. Nggak ada tanda baru dipakai. Gue melangkah keluar kamar, dengan harapan lain lihat dia di dapur, lagi bikin sarapan. Lagi-lagi cuma sunyi.

Seolah semalam cuma kejadian di mimpi gue.

Mungkin emang Marco nggak pernah beneran datang. Gue setengah mabuk semalam. Efek kelewat kangen, gue jadi bisa mengkhayal senyata itu. Seolah ciuman dan sentuhan dia yang akhirnya bisa gue rasain lagi beneran nyata, padahal cuma di kepala gue.

Sampai mata gue menangkap cardkey di meja depan TV. Satu-satunya bukti kalau semalam bukan mimpi. Marco beneran datang, dan dia pergi sebelum gue bangun.

Kenapa?

Gue menjatuhkan badan di sofa, meraih ponsel yang juga tergeletak di meja. Ada chat masuk dari Marco, yang dikirim satu jam yang lalu, langsung menarik perhatian gue, mengaburkan chat-chat lain yang ada. Bukan teks, melainkan deretan voice note. Perlahan, gue menekan tombol play, dan mendengarkan pesan pertama.

“Hai... maaf aku balik duluan, nggak bangunin kamu. Aku pengecut. Pas bangun, terus lihat kamu, aku malah nangis. Nggak tahu berapa lama tadi aku ngelihatin kamu tidur nyenyak banget kayak bayi, jadi sadar kalau aku kangen. Ngoroknya kamu yang kadang bikin kesel juga ternyata ngangenin. Aku sempet rekam tadi, maaf ya nggak bilang.” Tawa Marco jadi penutup pesan pertama.

Gue memutar pesan kedua.

“Semalem kamu sempat nanya, masih sakit nggak ngelihat kamu sekarang? Jujur... masih. Bukan karena aku nggak sayang, Zac. Justru karena aku sayang banget sama kamu. You are the nicest kindest person I ever met. Dulu aku nggak pernah punya bayangan pengin pasangan kayak gimana. Berkat kamu, standarku sekarang jadi tinggi banget. Sama kamu, aku jadi percaya kalau hubungan antar manusia nggak selalu cuma bikin ribet, tapi juga indah. I’m lucky enough to know you. And be your special person.”

Pesan kedua berhenti di sana. Jari gue mulai gemetar saat menekan layar ponsel untuk memutar pesan ketiga, sekaligus voice note terakhir dari Marco.

I love you, Zacree. Maaf aku jarang bales langsung tiap kamu ngomong gitu, tapi aku selalu bales dalam hati, berkali-kali. Udah kayak doa rutin. Aku harap kamu bisa ngerasain walaupun aku jarang bilang langsung. I love you so much.”

Masih di voice note yang sama, suara Marco terdengar bergetar. “Be happy, please. I really want to see you happy, with or without me,” lanjutnya, disusul isakan pelan.

Kemudian hening beberapa detik, bikin gue mikir kalau voice note itu selesai, tapi ternyata belum.

Satu kalimat terakhir, singkat, yang sukses bikin pertahanan gue runtuh lagi.

Good bye...”

Gue nggak pernah tahu kalau patah hati juga ada tingkatan. Saat gue ngira yang gue rasain udah paling buruk, ternyata bisa lebih sakit lagi. Gue sampai nggak tahu harus ngerasa gimana. Nggak tahu berapa lama gue duduk di sana, menatap layar ponsel yang perlahan berubah gelap.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang