34 - Coward

3.7K 494 140
                                    

“PAPI! Mau itu! Minum bola-bola.”

Gue menoleh ke arah yang ditunjuk bocah tiga tahun di samping gue. “Kan tadi udah es krim...”

Kedua mata bundar itu sekarang menatap gue dengan wajah memelas yang dia tahu banget bikin gue nggak bisa bilang nggak.

“Ntar kalau batuk, Papi yang dimarahin Bunda loh.”

Dia menggeleng. “Dikit aja,” ucapnya.

Gue menyerah. "Iya, oke. Kita beli minuman bolanya."

Gadis mungil itu langsung bersorak, melepaskan tangannya dari genggaman gue dan berlari ke tempat penjual boba.

“Nala, nggak usah lari,” tegur gue, sembari mengikutinya dari belakang. “Nanti ja—” sebelum kalimat gue selesai, anak itu udah lebih dulu menabrak kaki seseorang yang sedang mengantre, membuat tubuh mungilnya terjatuh.

Gue bergegas mendekat, menjatuhkan belanjaan di samping tubuh Nala,  menahan diri buat nggak ngomong, ‘papi bilang juga apa’, dan ganti nanya keadaannya.

Kelihatannya dia nggak apa-apa, karena pas gue tanya Nala malah menyeringai, memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Gue membantunya berdiri. “Ada yang sakit nggak?”

Nala menggeleng. “Mau yang ijo, ya, Papi?” Dia menunjuk gambar green tea di menu, seraya berdiri di belakang antrean. “Bola-bolanya mau banyak.”

Gue meraih belanjaan, kemudian berdiri di samping Nala, membuat gue bertatapan dengan sosok yang tadi ditabrak anak itu.

Dan seketika terpaku.

“Beneran elo ternyata...” Sosok itu bersuara, menyunggingkan senyum tipis yang udah lama banget nggak gue lihat, tapi masih gue ingat jelas. “Tadi mau nyapa tapi takut salah,” lanjutnya. Kemudian dia membungkuk ke Nala. “Adek nggak apa-apa?”

Nala menggeleng, tersenyum manis. Gue kadang suka khawatir sama sifat anak ini yang kelewat ramah sama orang, termasuk sama yang nggak dikenal.

Sosok itu lalu kembali menatap gue. “Anak lo?”

Gue belum sempat jawab, karena udah giliran dia yang pesan.

“Mau sekalian?” tawarnya. “Mau pesen apa?” Dia bertanya pada Nala.

“Yang ijo, bola-bola.”

Senyum di wajah sosok itu makin lebar. “Sama dong kesukaan kita,” gumamnya, kemudian berpaling ke kasir. “Green tea boba-nya dua.” Lalu dia noleh ke gue. “Lo?”

Gue menggeleng. Suara gue akhirnya kembali begitu kasir menyebut total yang harus dibayar. “Aku aja.”

Sosok itu lebih dulu menyerahkan uangnya. “Nggak apa-apa. Anggap permintaan maaf karena bikin jatuh tadi.”

Selesai bayar, kami bertiga duduk sambil nunggu pesanan jadi. Gue beneran nggak bisa berhenti natap sosok di depan gue sekarang, sementara dia kayaknya lebih tertarik buat bangun obrolan sama Nala dibanding gue.

“Namanya siapa?” tanyanya.

“Nala,” jawab anak itu.

“Anakala Resha Akbar,” sambung gue.

Mata kami kembali bertemu. Nggak ada yang berubah dari tatapannya. Masih persis kayak yang gue ingat dulu. Masih berhasil bikin jantung gue berdegup lebih cepat. Dan terasa hangat.

“Oh... anaknya Ares?”

Gue mengangguk.

“Tapi manggil elo... Papi?”

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang