19. Dia siapa?

67 18 19
                                    

Bicara tentang kehilangan, semua orang membenci kata itu. Apalagi jika maknanya bukan sekedar kata, melainkan nyata yang menggores luka. Jika ditanya mengenai hal yang paling dibenci, maka sebagain besar orang pasti menjawab kehilangan.

Memang, takdir tidak akan membiarkan kita jauh dari nama luka. Sebab begitulah hidup, dunia bak medan kita berperang. Yang mengalah tak kan selamat, yang berjuang tak selamanya kalah.

Kembali dengan topik kehilangan. Setiap individu mengalaminya, rasanya sama. Menyakitkan. Terlebih lagi saat dia begitu berharga. Yang membuatnya berbeda adalah cara individu itu menyikapinya.

Ada yang tersedu, tak terima. Kemudian menyalahkan keadaan yang jelas tak berpihak. Hingga akhirnya tenggelam dalam luka.

Ada juga yang berusaha ikhlas. Walau sulit, tapi mereka percaya Tuhan tak akan sejahat itu. Kemudian mereka melangkah maju, memulai hidup baru bersama kenangan. Walau terkadang waktu membuat teringat.

"Apa kabar?"

Di sebuah tempat, yang begitu sunyi. Teramat dingin hingga membuat jiwa yang hidup menggigil. Tampak siluet laki-laki yang menatap nanar sebuah gundukan.

"Maaf gue baru sempet jenguk." Tangannya bergetar ketika mengusap sebuah batu nisan. "Akhir-akhir ini gue sibuk." Cowok itu terkekeh pelan, tapi sorot matanya memancar sayu. "Tapi tenang, gue nggak bakal lupain lo." Tarikan napasnya memberat. Mustahil dirinya lupa. "Nggak bakal bisa." lirihnya pelan.

Kemudian hening.

Kicauan burung sedikit memecah sunyi. Udara pagi yang dingin membuat cowok itu sedikit menggigil. Tapi ia abai, sebab hatinya lebih menggigil. Meski tahun telah berganti beberapa kali, rasa sakitnya masih sama. Menyengat, lalu ia tak berdaya setelahnya. Sebab alih-alih mengikhlaskan, ia justru menyalahkan keadaan.

Takdir begitu kejam dengan merenggut cinta dalam hidupnya.

"Calista ...." Dadanya seperti ditikam. Ia tatap nisan itu walau pandangannya mengabur. "Gue kangen." Ia tarik napas lalu menghembuskannya. Namun, alih-alih merasa lebih baik. Ia malah semakin terperosok. "Gue kangen sama lo." Rindu ini menyiksanya. "Kangen banget, Ta."

Hening yang bersahut, semakin membuat cowok jakung itu terluka. "Kenapa ...?" lirihnya pilu. "Kenapa lo ninggalin gue." Ia letakan kepala di atas batu nisan. Diam-diam berharap semua ini mimpi. Sebab ia masih tak mampu mempercayai segalanya. Sesak, ia tak mampu menahan pedih sendiri. "Gue cinta sama lo. Asal lo tau ." Ia makin tersedu. "Tapi gue pengecut." Iya, dia memang pengecut yang tak berani jujur.

"Gue pengecut, Ta. Sampai-sampai gue terlambat." Ia abaikan air mata yang mengalir deras. "Sampai akhirnya lo suka sama cowok brengsek itu." Mereka bersahabat, dan ia tak ingin kehilangan Calista karena perasaannya yang mungkin tak bersambut.

Lalu cowok itu hanya bisa memendam.

Sebab kebahagiaan Calista yang terpenting.

Sesak itu dipendamnya seorang diri.

Lalu, waktu membuatnya terbiasa.

"Lo bodoh." Rahangnya mengetat. "Lo terlalu bodoh saat jatuh cinta." Ia menjadi saksi saat itu. "Tapi gue lebih bego." Ia remas tanah, mengutuk dirinya sendiri. "Gua bego karena cuma bisa diam."

Sesungguhnya ia menyesal.

Andai saja dulu ia tidak sepengecut itu.

Andai dulu ia ungkapkan segera perasaannya.

Maka Calista tidak akan jatuh cinta dengan cowok lain.

"Sampai akhirnya lo kayak gini." Biarlah sekarang ia terlihat lemah dengan menangis. Ia tak perduli. "Lo ninggalin gue, Ta ...." lirihnya.

ABIRARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang