11. POV Meira

238 103 40
                                    

Hari Senin. Hari dimana upacara bendera rutin dilaksanakan. Karena hal itu, aku terpaksa harus bangun lebih pagi dari biasanya agar tidak terlambat menghadiri upacara bendera yang dimulai pukul tujuh. Ah, hari libur rasanya begitu cepat berganti. Berbeda pada saat jam sekolah, waktu berjalan seakan berabad-abad lamanya.

Memandang diriku dalam cermin, aku memindai kelengkapan seragam yang kupakai untuk sekolah. Aku tahu nanti saat upacara bendera, sidak pasti akan dilakukan oleh para OSIS maka dari itu, aku harus memakai seragam yang lengkap. aku tidak mau mengulang kejadian beberapa waktu lalu saat aku dihukum membersihkan lapangan. Benar-benar melelahkan.

Dasi? Oke

Ikat pinggang? Sudah

Sepatu hitam? Yass

Topi sekolah? Siap

Oke perfect!

Gesekan lembut kurasakan pada kakiku membuatku menoleh kebawah mendapati hewan menggemaskan yang bermanja-manja menggesekan tubuhnya pada kakiku berulang-ulang.

Tersenyum, aku berinisiatif menggendongnya. " Kenapa hm?" Aku memeluknya gemas.

"Kamu disini dulu ya, aku mau kesekolah. Nanti aku bawakan makanan kesukaanmu."

Pus menggeram nikmat ketika aku mengelus kepalanya pelan.

"Kakinya masih sakit nggak?"

Aku tahu, kucing itu tidak akan mengerti apapun yang kukatakan. Tetapi tetap saja tanpa sadar mengoceh panjang lebar termasuk ketika aku bersama Kim dan Berry. Entah kenapa. Perasaanku menjadi lebih ringan, beberapa saat aku tidak merasa sendiri.

Pus mengerang pelan ketika aku sedikit menekan kakinya yang terkilir. Aku tertawa karena kejahilanku. Mengedarkan pandangan, aku membawa Pus pada Kim dan Berry yang sedang bercanda di sudut kamar. Menyadari kedatanganku, mereka mendekat dan mengeong manja.

Berjongkok, aku membelai kepala mereka bergantian lalu meletakan Pus di antara Kim dan Berry.

"Kalian main bersama ya, jangan bertengkar. Pus diajak main juga." Mereka kompak mengeong seakan mengerti apa yang aku katakan.

Setelah itu aku bergegas mengambil tas sekolah yang sebelumnya kuletakan di atas meja belajar, lalu meninggalkan kamar.

Aku menuruni tangga dengan langkah cepat, pandanganku mengarah ke jam tangan yang menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Lalu kembali fokus menuruni tangga. Langkahku mulai memelan seiring dengan tatapanku yang tertuju pada sosok duduk di meja makan yang juga sedang menatapku. Papa.

Aku memutus tatapan terlebih dahulu lalu memandang sekeliling, mencari sosok mama. Bukannya melihat mama, tanpa sengaja aku melihat sesuatu yang sedikit menarik perhatianku. Foto pernikahan papa dan mama yang terbingkai apik berukuran cukup besar, tergantung di dinding belakang televisi di ruang keluarga. Entah kapan dipasang, tapi aku baru menyadarinya sekarang.

Foto itu--aku ingat--foto yang diam-diam mama tangisi waktu itu. Hari dimana seorang anak berumur empat belas tahun menyerah pada harapannya.

Ketika sampai diujung tangga aku berhenti. Bingung. Seharusnya aku sudah mengira, jika sarapan di ruang makan berarti aku harus bertemu Papa. Kenapa aku tidak menyarankan agar sarapannya dibawa ke kamar seperti biasa? Rasanya aku ingin langsung berangkat ke sekolah tanpa sarapan hari ini. Tapi mengingat permintaan mama kemarin, membuatku urung melakukannya. Mama sudah memasak makanan kesukaanku, bagaimana mungkin aku mengecewakannya dengan tidak memakan masakannya?

Menghela napas pelan, aku melangkah ragu menuju meja makan, setiap langkah yang kuambil terasa berat. Seakan-akan satu langkah yang kuambil, pasokan oksigen yang kuhirup menipis. Sesak.

ABIRARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang