16. Tak Termaafkan

241 52 132
                                    

Tandai jika kalian melihat typo-typo secuil apapun ya.

Happy reading

*****

Ada kalanya, Meira merasa bingung dengan suasana hatinya sekarang. Terkadang perasaan melankolis menghantamnya tak terduga. Benak tak lagi mampu dikontrolnya kala mengingat masa usang tersebut. Demi tuhan, Meira sudah berusaha melupakan. Tuhan pun menjadi saksinya. Akan tetapi suasana seakan memotivasi memorinya untuk kembali memutar kilasan-kilasan duka yang sudah ia kubur dalam-dalam.

Berdiri menghadap jendela yang terbuka, riuh angin malam membelai wajahnya sejuk. Kepalanya mendongak, menampakan langit berhias ribuan bintang disana, dilengkapi Sang bulan dengan cahaya memancar penuh. Mereka seakan memamerkan kebersamaan dihadapan Meira. Mengejek Meira yang bahkan memiliki keluarga yang utuh, tetap saja merasa kosong.

Menarik dan menghembuskan napas pelan, Meira memejamkan mata dengan kepala mendongak, membiarkan cahaya bulan menyorot penuh wajahnya. Meira hanya berusaha menikmati kesendiriannya saat ini. Bahkan untuk menyalakan televisi yang memang tersedia di kamarnya pun Meira malas. Karena tiba-tiba saja, kilasan memori masa kecilnya menghantam telak.

"Mama, kenapa Papa nggak pelnah gendong Yaya?" Mata bulat itu memandang sedih pada sang mama. Kemudian memalingkan wajah ke arah televisi yang menampakan adegan seorang ayah yang tengah mendudukkan anaknya di pundak lalu berlarian, tampak sang anak tertawa bahagia. 

Sang mama berusaha mengukir senyum kepada anaknya. " Papa kan capek, sayang. Papa selalu kerja, cari uang biar Rara bisa beli eskrim strawbery. Nanti kalau papa udah nggak capek, pasti mau gendong Rara." Mama mengelus rambut putri semata wayangnya pelan. Dalam hati tersenyum getir, dengan mata yang mulai berembun.

"Benelan, Ma?" tanya Rara antusias. Mata bulatnya yang semula redup kembali berbinar.

"Iya, sayang." Mita memandang sedih Rara yang meloncat-loncat gembira. Ia sadar telah menjanjikan semu pada putrinya, tetapi jauh di lubuk hatinya, Mita menaruh sedikit harapan agar hal itu benar-benar terjadi.

"Rara sayang papa kan?" tanya Mita, merengkuh Rara ke dalam pelukannya. Menyembunyikan air mata yang tak mampu dibendungnya lagi.

"Sayang banget, Ma ..."

"Tetap sayang sama papa ya? Apapun yang terjadi Rara harus terus sayang sama papa."

"Iya, Ma."

Meira mencengkram erat pinggiran jendela, kepalanya menggeleng panik. Kilasan itu membuat dadanya sesak.

"Papa...," desahnya pilu dalam hati.

Tolong, Meira tidak ingin mengingat lagi. Sesak, Meira tak mampu mengontrol hatinya yang kelabu.

"Mama ..." Rara berlari ke arah mamanya yang terduduk di lantai. Bibir mungil itu bergetar menahan isakan. Keadaan mamanya jauh dari kata baik, rambut yang acak-acakan dengan sudut bibir yang berdarah.

"Papa malahin Mama lagi?" tanya Rara serak ketika melihat siluet papanya berjalan menuju kamar. Ia berjongkok di depan Mita, bulir-bulir air mata berjatuhan di pipinya.

"Papa jahat ..." lirih Rara pelan, menatap sedih Mita.

Mita menggeleng pelan, tangannya terulur menghapus lelehan air mata putrinya. "Rara nggak boleh ngomong gitu ..."

Rara meringsek maju, memeluk Mita erat. Isakannya semakin terdengar jelas. " Papa jahat hiks ... Papa udah malahin Mama."

"Nggak, sayang ..." Mita membalas pelukan Rara lebih erat, air mata yang sempat dihapusnya kini kembali bertumpah ruah. Ia menangis tanpa suara. "Rara sayang papa kan?" Pertanyaan itu kembali terlontar dari mulutnya. Mita hanya tidak ingin, kelak Rara akan membenci papanya.

ABIRARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang