9. Penculik?

267 143 56
                                    

Melipat kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri, Meira melanjutkan langkah kakinya. Ditemani semilir angin dan taburan bintang di langit malam yang tampak cerah, membuat perasaan Meira seakan lebih ringan. Supermarket kini menjadi tujuannya, mengingat stok beberapa snack'nya sudah menipis. Meira sangat menyukai suasana seperti ini, berada di alam terbuka membuat dirinya terasa menyatu dengan alam. Maka dari itu ia memilih berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan.

Meira memandangi langit.

Jika bisa memilih, maka Meira hanya ingin pergi jauh dari semua orang. Belajar memahami hidupnya dan berdamai.

Damai.

Kata yang asing baginya. Namun berusaha ia gapai.

Tentu, sekarang ia hidup seperti keinginannya bertahun-tahun lalu. Tetapi nyatanya, bahagia enggan menjadi bagian hidupnya. Setelah luka di hatinya tertoreh dalam, sukar untuknya mengikhlaskan semuanya.

Jika bisa, Meira enggan kembali pulang.

Rumah bukan lagi tempat ternyaman untuknya. Tidak, dari dulu ia memang tidak pernah merasa nyaman. Walaupun ada mama dan seseorang yang enggan ia sebut papa.

Tetapi ia kesepian.

Jadi kemana ia harus menetap?

Entahlah.

Saat ini ia hanya menjalankan hidup sebagaimana mestinya. Mengikuti arus takdir yang menyeretnya.

Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Tersadar dirinya menghalangi kendaraan yang akan melintas. Sontak saja ia berjalan ke pinggir sambil menggumamkan maaf pada pengendara yang menatapnya kesal.

Ahh pengendara itu pasti mengira dirinya gelandangan atau kemungkinan terburuk mengira dirinya akan bunuh diri.

Meringis pelan, Meira melanjutkan langkah kakinya. Melewati beberapa ruko yang menjual berbagai jenis hidangan yang menggugah selera. Ia menghentikan langkahnya, menatap penuh minat risoles yang tersaji di salah satu ruko tersebut. Niat untuk membeli ia urungkan ketika begitu banyaknya orang yang mengantri disana.

"Nanti aja deh gue belinya, setelah beli snack pasti antriannya berkurang" gumamnya pelan, kakinya yang terbalut jeans panjang kembali melangkah.

Berbelok ke arah tikungan, netranya menangkap seseorang anak yang menunduk di semak-semak. Penasaran, kakinya mengayun pelan menuju anak itu sambil mengedarkan pandangan berharap ada seseorang yang mungkin saja bersama anak tersebut. Nyatanya ia hanya melihat beberapa kendaraan yang lalu lalang.

Ia heran, kenapa orang tua zaman sekarang begitu lalai terhadap anaknya. Lihat saja, anak sekecil itu dibiarkan berkeliaran di jalan raya pada malam hari pula.

"Adik lagi ngapain di semak-semak?" Tanya Meira ketika sudah berdiri tepat di samping anak berjenis kelamin perempuan tersebut. Meira memperkirakan umurnya masih sekitaran enam tahunan.

Anak perempuan tersebut mengalihkan pandangan ke arah Meira. Memperlihatkan wajahnya yang begitu menggemaskan dengan mimik takut dan juga sedikit panik.

Ya ampun, cantik dari lahir ini mah.

Bibit yang terunggul pastinya.

"Kak, kucingnya..."

Mengabaikan rasa insecure yang melanda, Meira mengikuti arah pandangan anak perempuan tersebut.

Astaga, Meira baru menyadari ada seekor kucing tergeletak di semak-semak yang mengeluarkan suara kesakitan.

"Tolongin kucingnya kak, kasian nanti bisa mati. Tari mohon kak."

Mendengar nada tercekat seperti akan menangis tersebut, Meira mengalihkan pandangan menatap anak perempuan yang kini diketahuinya bernama Tari.

ABIRARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang