"Gue nggak nyangka, lo diem-diem punya dendam sama Abi." Cowok itu menghisap sebatang nikotin yang terselip di antara dua jarinya. Mendongak dan menghembuskan asapnya. Kemudian kekehan sinis menguar dari bibir itu.
"Jadi, lo orang yang ngeroyok Abi waktu itu?" Menatap seseorang yang duduk bersandar di depannya, cowok itu tersenyum sinis, beberapa saat kemudian lenyap, berganti dengan ekspresi datar. " Sayangnya gagal," tambahnya berdecak.
"Gue bersumpah, selanjutnya nggak bakal gagal lagi." Mendengar penuturan dari temannya, cowok itu tidak bisa manahan diri untuk tidak tertawa. "Maka dari itu gue butuh bantuan lo."
Kemudian tawa itu lenyap, berganti dengan raut serius. "Gue nggak mau nyerang dari belakang," Sahut cowok itu cepat, membuang putung rokok yang telah habis. Menatap temannya yang kini duduk tegak.
"Sama seperti gue, gue tahu lo juga benci sama Abi." Mengangguk, cowok itu membenarkan perkataan temannya.
"Gue benci kesombongan dia, tapi gue nggak punya dendam pribadi kayak lo," ucap cowok itu. " Jadi, gue mau bantuin lo--hanya sekedar membantu, tapi gue nggak mau ikut campur dalam masalah lo sama dia."
"Oke, nggak masalah."
"Satu lagi, gue nggak mau nyerang dari belakang, kayak yang lo lakuin waktu itu." Menaikan sebelah alisnya, cowok itu terkekeh melihat raut wajah penuh tanya dari temannya. "Nyerang dari belakang, bukan prinsip gue, Bro," menepuk pundak temannya, cowok itu berdiri, melepaskan jaket yang membalut tubuh atletisnya.
"Sok suci lo, Vin!" Mendengar nada penuh cemooh dari temannya, cowok itu balas tertawa.
"Seorang Alvin, nggak pernah menyerang musuh dari belakang, seperti pengecut." Cowok itu, Alvin, berujar bangga. Menyampirkan jaket pada sandaran kursi, kemudian duduk menyender, menatap geli temannya yang menampilkan raut masam.
"Sialan lo!" Merasa tersinggung, cowok yang merupakan teman Alvin itu, melempar kulit kacang pada Alvin, kemudian mendengus ketika Alvin dengan cepat menghindar, sehingga lemparannya meleset.
"Kacang gue jangan dihabisin, setan!"
Mengabaikan perkataan Alvin sepenuhnya, cowok itu terdiam setelah mengingat sesuatu yang mengganggunya. "Kayaknya Abi ngelihat gue waktu di arena balap itu."
Alvin terbelalak." Sialan!" Umpatnya keras. "Abi pasti nuduh gue yang jadi dalang ngeroyok dia."
Alvin bukannya takut, sungguh. Tetapi seperti perkataanya sebelumnya. Alvin tidak mau ikut campur masalah temannya ini dengan Abi.
"Kalau bener dia cerdik, dia nggak akan nuduh lo."
Lalu yang terdengar hanya bunyi jangkrik. Mereka terdiam entah memikirkan apa. Cowok yang merupakan teman Alvin kini fokus mengunyah kacang yang baru saja dibukanya. Sedangkan Alvin hanya terdiam dengan pandangan menerawang. Berbagai pertanyaan mencul dalam kepalanya setelah mengetahui kebenaran tentang temannya ini.
Kemudian dering ponsel membuat mereka tersentak. Alvin mengamati temannya itu merogoh sakunya dan mengangkat sebuah panggilan yang berasal dari ponselnya.
Alvin mengaksikan sendiri, bagaimana wajah temannya ini melembut ketika mengangkat panggilan. Caranya berbicara bagitu halus dan jangan lupakan sorot matanya yang berbinar. Alvin bersumpah, selama mengenal temannya ini, ia tidak pernah melihat raut wajah lembut dan teduh itu.
"Siapa?" Alvin bertanya ketika temannya itu sudah mengakhiri panggilannya.
"Cewek gue."
Alis Alvin berkerut. Kemudian teringat sesuatu.
"Gue pacaran sama dia, karena alasan lain. Bukan cinta."
Perkataan itu tiba-tiba terlintas dalam benak Alvin. Jawaban itu yang dikatakan temannya saat ia bertanya mengenai hubungan temannya itu dengan salah satu siswi di sekolahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIRARA
Teen Fiction{REVISI SETELAH TAMAT} Meira membenci Abi, itulah faktanya. Semesta mempermainkan takdir mereka dalam lingkaran pertengkaran yang tidak berujung. Dimana Abi si brandal sekolah selalu mengusik ketenangan Meira. Lalu Abi mulai merasakan hal yang berbe...