20. Tamu istimewa

72 13 7
                                    

Mita tak pernah merasa setidakberguna ini terhadap anaknya. Meira sedang sakit, dan Mita baru mengetahuinya. Sama seperti dulu, penyesalan kembali menghantui renungnya. Berulang kali menyesali ketidakmampuannya memberikan keluarga yang bahagia, Mita justru selalu dihadapkan dengan Meira yang terluka.

Memejamkan mata, tiba-tiba serbuan memori kemarin malam menyinggahi benaknya. Dalam ketidakberdayaan, ia menyaksikan putrinya sendiri pulang dalam keadaan basah kuyup. Tak seperti biasanya, Meira justru mengabaikan panggilannya dan melaju ke kamar. Menatap kepergian putrinya itu, Mita dirundung kepedihan yang mendalam. Sebab alih-alih mengadu pada dirinya, Meira justru mengurung diri di kamar.

Lalu Mita bisa apa?

Ia tak bisa melakukan apapun, walau berulang kali mengetuk pintu kamar Meira yang terkunci, ia justru disambut keheningan. Menyerah, Mita kembali ke dalam kamarnya. Mengabaikan keberadaan suaminya, Mita justru menghadapi kebimbangan.

Apa pilihannya salah?

Tuhan tahu, Mita ingin putrinya mendapat kasih sayang seorang ayah. Hal itu hampir terwujud karena Erik sudah berubah, akan tetapi segalanya lebih rumit ketika Meira justru memutuskan membenci.

Mita memahami rasa sakit putrinya itu.

Meski dalam keputusasaan terhadap pernikahannya dulu, Mita menerima kembali Erik dengan tangan terbuka. Sebab selain karena cinta dan harap yang mulai bersambut, Mita dapat memberikan sesuatu yang selama ini hilang dari putrinya. Ya, kasih sayang seorang ayah.

Semua kebenaran tentang Erik, ia ketahui. Dan Mita tak bisa berbohong dengan fakta bahwa hatinya juga hancur saat itu. Mita tak bisa melakukan apapun, sebab pernikahan mereka pun tidak sehat.

Kehadiran Meira merupakan ketidaksengajaan mereka. Lalu Mita menemukan cahaya harap melalui keberadaan anaknya itu. Harap itu berujung semu sebab Erik justru tidak menerima keberadaan Meira.

Tahun-tahun dilampauinya dengan harapan suatu saat nanti, cintanya yang akan menjadi pemenang. Lalu Mita mendapatkannya, dan Meira justru tidak dapat menerima.

"Ra, Mama masuk, ya?" Tidak mendapat sahutan, Mita mencoba membuka pintu kamar Meira. Beruntung pintu kamar tidak terkunci.

Mengusap pelan rambut Meira, setitik air mata mengalir di pipi Mita.

"Ra, bangun." Ia belai wajah putrinya yang sedikit pucat. "Makan dulu, yuk? Biar cepet sembuh." Menepuk pelan pipi Meira hingga Meira mengerjap pelan.

"Enghh ...,"lenguh Meira pelan.

"Bangun, Ra. Makan abis itu minum obat." Tadi ia memeriksa tas sekolah Meira dan menemukan beberapa macam obat disana. "Duduk dulu, ya?"

Mata Meira terbuka pelan. "Enggak, Ma. Aku tidur aja," ujarnya pelan.

Mita menjawab dengan gelengan tegas. "Jangan membantah." Setelah memastikan Meira duduk menyandar, Mita mengambil semangkok bubur yang tadi diletakannya di atas meja. "Mama suapin, ya." Mita menyendok sedikit lalu mengarahkannya ke mulut Meira. "Buka mulutnya. "

Tak ingin membantah, Meira menerima suapan mamanya itu. Mengunyahnya dalam diam.

"Enak." Walau mulutnya terasa hambar, ia sisipkan pujian untuk mamanya.

Mita tersenyum mendengarnya. "Ini lagi."

Sampai pada suapan terakhir, mereka  berada dalam keheningan. Walau Mita mencoba membuka pembicaraan, akan tetapi Meira menjawab seadanya saja.

"Minum obatnya." Mita menyerahkan beberapa kapsul obat kepada Meira, disusul segelas air putih.

Meira menenggak semua tanpa protes.

ABIRARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang