15. Seperti Magnet

190 60 36
                                    

"Pak, udahan ya? Saya capek banget, nanti saya pingsan Bapak emangnya mau gendongin saya?" pinta Abi memelas. Sungguh, panasnya itu membakar kulit mulusnya. Apalagi saat ini Abi harus jalan jongkok mengelilingi halaman sekolah yang tidak bisa di bilang sempit.

Pak Bondan bersedekap dada." Kamu beneran laki? Gitu aja capek ... Lemah," sinisnya dengan mata memicing.

"Ya laki lah, Pak! Mau saya buktiin nih?" Menatap menggoda, Abi bersiap  berdiri dengan tangan memegang ikat pinggang.

"Jangan ngadi-ngadi kamu!"

Abi terbahak. "Siapa suruh meragukan kelelakian saya"

Wajah Pak Bondan mengkerut geram, semakin geram ketika tawa Abi bertambah nyaring. Spontan Pak Bondan menendang bokong Abi, bermaksud menyuruhnya bergerak. Akan tetapi, agaknya tendangan itu terlalu keras sehingga Abi jatuh tersungkur.

"Pak!!" teriak Abi karena terkejut.

Cekikikan pelan terdengar dari segerombolan siswi yang kebetulan melintas. Abi malu luar biasa.

Njir gue letoy banget, malu woyy!

Menoleh kebelakang, Abi menatap kesal Pak Bondan yang tidak menampilkan raut bersalah sama sekali. "Pak! Ini namanya udah penganiayaan, saya tuh nggak terima diginiin." keluh Abi merana. Mencoba berdiri tetapi urung ketika melihat tatapan protes Pak Bondan.

"Heleh!" Pak Bondan mengibaskan tangan gemulai." Lebay kamu! Lanjut cepat!"

Menggerutu dalam hati, Abi lanjut bergerak memutari halaman sedangkan Pak Bondan mengikuti melalui tepian halaman yang teduh. Jangan tanya kenapa Pak Bondan buang-buang tenaga mengikuti Abi. Jelas agar Abi tidak kabur. Pak Bondan jelas tahu perangai anak didiknya yang satu ini.

Beberapa meter sudah dilewatinya, Abi berhenti, sejenak mengatur napasnya. " Anjir capek banget ... haus pula ..." keluhnya meraba tenggorokan.

Mendengar itu, Pak Bondan mendengus sinis. "Siapa suruh kamu membolos di jam pelajaran?"

"Heleh, Bapak kayak nggak pernah bolos aja" Abi mencibir, kembali melanjutkan gerakan. Dua putaran sudah Abi lalui dengan penuh perjuangan, tinggal satu putaran lagi maka Abi akan terbebas dari siksaan ini. Kemudian setelah itu, Abi harus menemui seseorang.

Pak Bondan kembali mendengus, merasa percuma mendebat seorang Abi yang mempunyai segala jurus jawaban.

Sedangkan Abi mengutuk orang yang berkedok sebagai sahabatnya dalam hati, seenak jidat menghilang tanpa jejak, tidak menolong dirinya sama sekali. Sialnya Abi yang harus menanggung sendiri hukumannya. Mana pula dikerjai lagi.

Berdecak, Abi mengingat kebohongan yang dilontarkan Meira. Tak disangkanya cewek itu akan membalasnya seperti itu. Atau Abi yang memang salah mengira, menganggap Meira seperti cewek lemah di luar sana, yang kalau dibully hanya bisa menangis.

Tapi sayangnya...

Meira berbeda.

Fakta itu cukup menarik perhatian Abi.

Kembali melirik sekilas pada Pak Bondan, Abi berdehem. "Bapak nyadar nggak sih, tadi udah dikibulin sama Meira?"

Pak Bondan Mengerutkan alis bingung. "Maksudnya?"

Berdecak, mengusap peluh yang menetes di dahinya. Abi menjawab gemas setengah kesal. " Saya udah hitungan ke dua lima lho, Pak. Terus seenak jidat dia bilang cuma sampai hitungan sepuluh. Ya nggak apa-apa sih, saya cuma prihatin aja, Bapak dibohongin sama dia." Abi bermaksud menyulut ragu dalam diri Pak Bondan. Tapi sepertinya gagal setelah melihat raut datarnya.

ABIRARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang