8. Hukuman

305 160 89
                                    

Sesuai rencana, malam harinya Abi sudah bersiap menuju arena balap. Tubuh atletisnya dibalut dengan kaos hitam polos lengkap dengan jaket kulit hitam miliknya. Bawahannya dipadu dengan jeans dengan motif robek-robek disekitar paha sampai lutut.

Abi melirik jam tangannya, tepat pukul satu dini hari. Jika ia keluar melalui pintu utama, tidak menutup kemungkinan seseorang bisa saja memergokinya. Alhasil Ia tidak punya pilihan selain balkon kamarnya.

"Sial, alamat manjat lagi nih gue" netra Abi memindai sekeliling, sepi dengan bunyi jangkrik sebagai pengiring. Abi meraba tengkuknya merinding mendapati suasana horor ini, sial kenapa pula disaat seperti ini pikirannya menjalar kemana-mana. Tidak mungkin kan ada setan di rumahnya.

Mengabaikan rasa takut yang menyerang, Abi menggapai dahan pohon yang untungnya menjorok ke arah balkon.

Abi memegangi dahan pohon, berusaha berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Sedikit demi sedikit ia menyusuri dahan pohon hingga sampai pada pangkalnya. Abi melirik ke bawah. Ia hanya perlu terjun kurang lebih dua meter, tidak masalah baginya. Abi mengambil ancang-ancang bersiap terjun ke bawah. Naasnya, kaki kanan Abi mendarat tepat pada sebongkah batu. Sehingga tubuhnya oleng dan tersungkur dengan cara yang tidak elegan.

"Arghh shit! Gini banget perjuangan gue yatuhan"

Abi berdiri, menepuk pakaiannya membersihkan debu. Ia langkahkan kakinya pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Matanya waspada menatap sekeliling, halaman rumahnya hanya diterangi beberapa lampu hias. Abi berharap Semoga papinya tidak memasang cctv tersembunyi disekitar halaman. Dirasa aman, Abi mempercepat langkahnya. Sedikit lagi mencapai gerbang, matanya menangkap siluet seseorang di pos satpam di samping gerbang, refleks ia menyembunyikan diri di balik tanaman.

"Yaelah, Gue udah mirip maling aja di rumah sendiri." Abi bergumam pelan, hati-hati ia mencoba mengintip ke arah pos satpam. Abi bersyukur satpam rumahnya sedang tertidur.

Abi melangkah pelan ke pintu gerbang, sesekali melirik ker arah pos satpam. Setelah sampai, Abi mencoba peruntungan membuka gerbangnya lalu mendengus pelan mendapati pintu gerbang terkunci.

Tidak ada pilihan lain selain memanjat gerbang, pelan-pelan ia menapakan kaki di sela-sela gerbang mulai memanjat.

Abi mengelus dada lega ketika mendarat mulus di luar. Ternyata rasanya menegangkan juga. Lalu Abi berjalan menuju pangkalan yang tidak jauh dari rumahnya. Disana nantinya ia akan dijemput oleh Bisma.

Bagus, dirinya terlihat seperti gelandangan sekarang. Padahal sudah lima belas menit ia menunggu, Bisma belum juga menampakan batang hidungnya. Mana udaranya dingin pula, bisa-bisa dirinya mati kedinginan disini.

Suara motor yang familiar merasuki pendengaran Abi, matanya menangkap sebuah motor yang kini berhenti di depannya.

Abi menatap datar sang pengendara, Bisma. "Bagus, sekalian aja lo bikin gue nunggu sejam"

Bisma cengengesan." Ya maap, gue lupa waktu tadi hehe" Bisma menyodorkan sebuah helm full face kepada Abi.

Abi menerimanya lalu menduduki diri di belakang Bisma. "Semua udah beres kan?"

"Iye-iye"

Setelah itu, motor sport Bisma melaju membelah tamaramnya malam.

Dua puluh menit perjalanan, suasana riuh menyambut kedatangan Abi.

"Gimana lakon lo jadi monyet Bi? Berhasil nggak?"

Kesinisan memancar dari pandangan Abi ke Juna. "Nggak, kan monyet aslinya lo"

Gelak tawa seketika pecah meramaikan suasana, tentu Bismalah yang paling semangat. Lain halnya Juna yang memasang wajah kecut. "Mulut lo Bi, ngalahin tajemnya pisau emak gue"

ABIRARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang