🚻 Ke Jakarta Lagi

174 29 0
                                    

Seperti dugaan cerita ini rame pada waktunya sendiri.

Percaya kok aku percaya kalau itu.

Selamat membaca dan semoga suka.

⚫⚫⚫

    Genap sepuluh hari kami tinggal di rumah orang tuaku. Hari ini saatnya berangkat ke Jakarta untuk memulai hidup baru. Koperku sudah tertata rapi, dua koper besar Mas Tama juga sudah aku rapikan tadi malam. Dia meninggalkan sedikit pakaian untuk stok di rumah orang tuaku, jika nanti kita kembali tidak perlu repot-repot lagi. Dan pagi ini, sekitar jam setengah sembilan pagi akan berangkat ke Jakarta.

Mas Tama tidak kembali ke Surabaya lagi, melainkan dia ikut ke Jakarta dan berpindah ke kantor pusat yang ada di Jakarta. Mertuaku tetap di Surabaya seperti sebelumnya.

"Gak ada yang tertinggal kan?" Dia sudah memasukkan semua koper ke dalam mobil dengan bantuan Abyaz. "Iya Mas. Semuanya udah masuk kok,"

Mas Aksa sudah kembali ke Medan tiga hari yang lalu, pak Pur dan keluarganya juga sudah kembali dua hari yang lalu, dan pak Dhe sekeluarga baru saja pulang ke Jogja kemarin pagi.

Bapak dan ibu keluar rumah. Naya dan Arbie juga menyusul dari belakang. Mereka semua ke depan untuk mengantar kepergian kami.

Aku menyalimi tangan bapak dan Ibu terlebih dulu. "Pak, bu aku berangkat ya. Jaga diri baik-baik. Kami gak akan lupa untuk pulang ke sini lagi."

"Pasti nak. Hati-hati di sana. Patuhi suami, layani dia dengan baik. Bapak yakin Arumi anak bapak gak akan mengecewakan." Aku mengangguk. Bapak mencium pucuk kepala ku sebentar, sedangkan ibu mencium hampir seluruh wajahku. "Jangan pernah lalai akan posisimu sekarang yang sudah jadi seorang istri Nak Tama."

Aku memeluk ibu erat. Rasanya ingin tetap disini, ingin merasakan keharmonisan keluarga yang sangat erat tapi aku sadar kalau itu tidak bisa dilakukan lagi.

"Pak kami berangkat. Terimakasih sudah mempercayakan Arumi pada saya. Saya akan menjaganya dengan baik." Bapak menepuk pelan bahu Mas Tama. "Buktikan nak. Bapak akan membawa Arumi masuk ke dalam rumah ini lagi kalau kamu berani menyakiti hatinya Walaupun sedikit saja. Pintu kami akan selalu terbuka untuknya. Mau bagaimana pun dia tetap anak kami."

Mas Tama beralih ke Ibu. Mencium tangannya sangat lembut dan pelan. "Bu kami berangkat dulu."

Ibu memeluk pelan menantu pertamanya. "Hati-hati bawa mobilnya. Gak boleh ngebut-ngebut. Keselamatan kalian nomer satu, pelan asalkan selamat tidak masalah."

Mas Tama mengangguk. Dia lalu merogoh saku. "Ini Bu ada sedikit buat kebutuhan adik-adik." Dia memberikan amplop putih. Jujur aku gak tau jakau mad Tama akan memberikan itu pada ibu.

"Tam gak usah nak. Buat kebutuhan kalian aja di sana," bapak menolak pemberian Mas Tama. "Enggak pak. Kalau kebutuhan nanti disana saya sudah menyiapkannya. Kalian sudah menjadi keluarga saya juga sekarang, saya ingin sedikit berbakti. Ini pun tidak akan cukup untuk membalas jasa-jasa kalian."

Aku tersenyum di sebelah Mas Tama. "Ambil aja pak bu. Izinkan mas Tama mengambil barokah dari kalian juga."

"Kami terima nak. Terimakasih,"  Bapak akhirnya mengambil amplop putih itu. Kami kemudian beralih ke arah adik-adik ku yang sudah berdiri menunggu giliran. "Mbak Rumi dan Mas Tama berangkat dulu ya. Jaga diri kalian baik-baik. Triple Mbak Titip adik-adik dan ibu bapak ya karena kalian itu yang jadi tertua selama Mbak dan Mas Aksa tidak di sini."

Mereka berlima menyalimi tanganku. Aku mengusap rambut mereka juga. Mas Tama juga ikut mereka salimi tangannya. Tapi tak tertinggal, mas Tama kembali memberikan mereka uang.

Bedanya triple dimasukkan ke dalam amplop, sedangkan Arbie dan Arza di berikan langsung masing-masing satu lembar seratus ribu. "Buat jajan."

Aku tersenyum makin lebar. Benar-benar ipar yang luar biasa Mas Tama ini. Dia tidak lupa akan keluarga barunya.

"Tam ngerepotin lagi. Tadi udah nak. Kok kamu kasih lagi. Anak-anak kembalikan ke Mas Tama lagi." Mas Tama menghindarinya dengan mundur beberapa langkah. "Enggak usah Bu. Mas Tama kan niatnya ngasih jajan mereka."

"Benar kata Arumi. Saya memberikan mereka sesuai yaang saya mampu. Ayo Arumi kita berangkat." Berjalan aku menghampiri Mas Tama yang sudah membuka pintu mobil buatku. Dia lalu duduk di kursi kemudi sebelahku.

Dihidupkan mesin mobil. Di turunkan kaca mobil kita berdua. "Kami berangkatrangkat dulu semua, assalamualaikum."

"Hati-hati Waalaikumsalam," Ditutup kaca mobil. Dan mas tama melirikku sekilas. "Berangkat?"

"Bismillahirrahmanirrahim." Kami berdua membacanya secara bersama.

⚫⚫⚫

Malam hari sekitar jam delapan malam barulah kita sampai di kediaman pak Pur dan bulek Tatik untuk sementara waktu sambil mencocokkan dengan kontrakan.

Koper mas Tama sudah aku masukkan ke dalam kamar yang sebelumnya aku pernah tempati. Aku meringis melihat kasur yang hanya mampu diisi untuk satu orang.

"Kenapa?" Mas Tama baru saja selesai mengobrol dengan pak Pur. Ku balikkan badan menghadapnya. "Anu mas. Kasurnya cuma muat satu orang."

Kasur ini aku membelinya sendiri. Dulu di kamar ini hanya ada kasur lantai, tapi karena punggungku yang selalu sakit saat bangun tidur akhirnya aku beli kasur yang cukup buatku sendiri. Aku tidak bakal menduga bahwa nanti orang lain akan tidur disini juga.

"Gak apa. Mas bisa tidur di lantai sedangkan kamu di kasur. Mas udah biasa kok." Mas Tama mengambil kasur lantai yang lipat dipojok kamar.

"Ada bantal satu?" Segera aku berikan bantal yang memang ada dua biji. Mas Tama sudah memposisikan dirinya untuk berbaring menghadap langit-langit kamar. "Arumi tolong dong matikan lampunya, mas gak bisa tidur kalau dengan lampu menyala."

Saklar lampu memang ada di dekat tempat tidur ku. "Selamat malam dan semoga kamu mimpi indah."

"Kamu juga Mas," aku ingin menutup mata tapi sepertinya ada yang mengganjal. Aku gelisah sendiri sampai susah tertidur.

"Gak bisa tidur?" Hampir tersentak mendengar suara Mas Tama yang sepertinya belum tertidur. "Mas.."

Badanku aku hadapkan ke arahnya. Dia juga ikut berbaring menyamping menghadap ku. "Kenapa?"

Saklar lampu ku hidupkan, tubuh aku geserkan untuk memberikan ruang buatnya. "Sini tidur di atas sama aku. Masih ada ruang kok buat kamu."

Mas Tama bangkit, dia menatap ruang yaang sudah aku sisakan buatnya. "Kamu kesempitan gak? Mas gak mau kalau kamu ga nyaman tidurnya."

Ku tepuk-tepuk ruang tersisa itu. "Enggak kok. Sini ayo buru, bawa bantalnya sekalian."

Mas Tama akhirnya menurut, dia melipat kembali kasur lantai yang dia gunakan tadi. Bantalnya dia masukkan kedalamnya tidak dia ikut sertakan seperti yang aku minta. "Mas bantalnya."

Tak dihiraukan, dia mematikan saklar lampu kemudian Mas Tama berbaring menyamping menghadap ku. Bantal yang aku gunakan juga dia ikut gunakan. Kepalaku dia angkat sedikit lalu tangan kirinya dibuat bantal olehku.

"Kalau gini pas dan juga nyaman. Yuk tidur," Tangan kanannya hinggap di pinggangku dan dipeluknya seperti memeluk guling. Posisi wajahku sekarang menempel di dadanya yang bidang.

Tak boleh aku sia-siakan. Aku bisa menghirup aroma khas dirinya yang entah semenjak kapan aku mulai menyukai bau itu. Mas Tama tergelak sedikit kemudian makin mengeratkan pelukannya buatku.

Malam ini malam dimana kasur dan kamar menjadi saksi bisu bagaimana cara kita berbagi tempat tidur.

⚫⚫⚫

Keknya enak gitu nikah wkwk

Luv kalian💚

























MENDADAK?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang