42. Rempong

146 24 0
                                    

"Ya Allah Mas. Ini kamu mau nyiksa diri sendiri apa gimana?"

Harus cukup sabar. Lihat saja barang yang Mas Tama beli. Gak habis pikir, dia belanja dua kardus mie instan goreng dan kuah? Buat apaan sebanyak itu?

"Enggak kok. Mas cuma pengen makan mie aja," Aku berkacak pinggang. "Gak boleh. Beli seperlunya aja mas. Kamu beli dua kardus juga gak mungkin kamu habiskan sendiri ya kan? Aku gak boleh makan mie Mas, gak baik buat baby."

Dia tergelak. Matanya langsung menatap perutku. "Astagfirullah mas lupa. Aduh-aduh maafkan Papa ya baby. Papa lupa kalau udah ada kamu diperut Mama." Ucapnya sambil mengusap perutku pelan.

"See?"

Sebelumnya Mas Tama mencium pipiku cepat. Dengan gesit dia mengembalikan dua kardus mie instan yang tadi dia ambil. Tapi tetap, membawa mie lagi, dengan jumlah yang tidak sebanyak tadi.

"Aku gak ngelarang kamu buat makan mie Mas, cuma harus sesuai porsi. Oke aku gak bakal masalah kalau kamu beli satu kardus, cuma satu kardus, tapi sekarang beda, aku lagi hamil, dokter gak menganjurkan makan mie," Mas Tama mendorong troli ke arah Stan minyak goreng. "Mas minta maaf sayang."

"Hm,"

Aku mengambil minyak goreng yang biasa aku pakai. Mas Tama kali ini tidak ambil serta, dia akan terima beres. Goreng-gorengan biar aku yang ngurusin.

"Perlu buah bukan?"

"Pasti dong." Mas Tama tersenyum khas dirinya. "Pilih aja. Se mau kamu sama Baby, biar baby juga sehat hm?"

Memilih anggur dan juga alpukat buatku. Tak lupa mengambil buah pisang, apel dan jeruk buat Mas Tama. Untuk pisang tidak boleh terlupakan, buah-buahan kesukaan Mas Tama, apalagi yang pisang kecil-kecil kayak pisang emas.

"Mas beli susu ibu hamil dulu," Hampir saja lupa. Mas Tama dan aku sudah berjalan ke arah kasir, harus kembali lagi ke arahnya Stan susu khusus ibu hamil atau susu untuk ibu menyusui.

"Menurut kamu enak yang mana?" Bukannya menjawab malah menaikan sebelah alisnya bingung. "Serius sayang kamu tanya Mas tentang beginian? Mana Mas tahu. Kamu pilih sesuai rekomendasi aja. Mas bingung malahan kalau harus milih begitu."

"Ih apaan sih mas. Aku tanya rasanya. Menurut kamu yang coklat atau stroberi? Aku gak suka yang rasa Vanila,"

Entah kenapa. Semenjak hamil hormon manjaku lebih berkobar-kobar. Rasanya nyaman manja sama mas Tama, dia juga makin nemplok denganku.

"Coklat aja. Kamu gak suka rasa yang terlalu kuat. Stroberi pasti kuat rasanya. Coklat aja, kamu kan suka tuh yang ada coklatnya. Kaya Mas gini, kulitnya Coklat manis. Ya gak yang?"

Kepedean banget, tapi kok beneran asli nyata.

Memilih mengabaikan. Aku mengambil yang rasa coklat. "Udah Mas. Sana kamu yang bayar."

Mas Tama menatapku. Loh aku salah ya? Ya kan bener dong. Masalah perduitan bulanan itu biar mas Tama yang ngurusin, tetep aja, entar kertas tagihan aku yang bawa.

"Udah nih yang. Mau pulang atau makan dulu?" Menerima kertas biaya belanja. Aku simpan dulu di dalam tas. "Di masukin mobil dulu mas, habis itu kita makan. Bakalan repot banget kalau bawa belanjaan segini banyaknya di tempat makan."

"Okeh. Kamu tunggu aja disini ya. Biar Mas yang masukin di mobil dulu. Kalau kamu ikut nanti cape jalan-jalan."

Menggeleng tegas. "Aku ikut. Kita cari makan di luar aja mas. Itung-itung menghemat juga kan?"

Rambutku di obrak-abrik dengan tangan besar Mas Tama. Aku menatap kesal, tapi dia berjalan dengan santainya menuju parkiran mendahului aku yang masih kesal disini.

⚫⚫⚫

Pilihan tempat makan kami jatuh ke warung makan pecel yang sudah tidak rame. Jamnya udah kelewat dari jam makan siang, jadi cuma beberapa orang yang masih makan disini.

"Yang besok kamu kerja?" Aku menatap Mas Tama yang menatapku sepenuhnya. Aku mengusap bibir dengan tisu terlebih dulu. "Ya kerja dong Mas. Emangnya kenapa?"

"Gak tega Mas lihat kamu kerja sambil hamil gini." Mas Tama menatap perutku, aku juga ikut melihat ke arah perut. "Masih rata gini ah Mas. Udah kamu gak usah khawatir. Nanti pas udah buncit mungkin tujuh bulan aku bakalan ambil cuti kok."

"Kita ngobrol lanjut dirumah aja, gak enak mas ngobrol serius disini. Pulang dulu ya kita."

Mas Tama berdiri. Aku membawa dua botol air mineral yang masih tersisa. Mas Tama menuju ke tempat pembayaran.

Lima menit. Mas Tama kembali dengan tangan yang membawa kerupuk. "Gak ada kembalian jadi Mas ambil kerupuk ini aja."

Udah dijelaslan duluan sebelum aku bertanya. Lihat bagaimana baiknya dia buatku? "Iya. Yaudah ayo kita pulang."

Membuka pintu mobil sendiri. Yang memintanya aku sendiri kok, aku emang gak mengizinkan lagi Mas Tama membuka pintu mobil buatku. Aku juga masih punya tangan sendiri, dua malahan.

"Mas-Mbak!!" pintu kaca mobil di ketok dari luar. Aku membuka kaca mobil. Ada mbak-mbak yang berdiri setelah mengetok pintu mobil. "Ada apa ya mbak?"

"Maaf mbak. Ini ada yang ketinggalan." Dia memperlihatkan sesuatu barang. Aku menerima. "Ouh makasih banyak Mbak. Makasih banyak ya. Maaf banget, tadi kelupaan bawa. Sekali lagi makasih ya mbak."

"Iya Mbak sama-sama. Mari saya masuk lagi." Orang tadi kembali masuk ke warung makan pecel. Untung ada orang baik kayak mbaknya tadi. Kalau tidak kunci gerbang rumah bakal hilang.

Gak bakal bisa masuk rumah, gak rumah sih, halamannya aja gak bakal bisa dimasuki. Kecuali kalau manjat, tapi masa iya manjat segala.

"Maaf," Aku menoleh ke arah mas Tama. Mendekat untuk mengusap pipinya perhalan. "Udah gak papa. Ini udah kembali ke kita. Salah aku juga kok Mas gak ngecek di atas meja lagi. Dah yuk kita pulang."

⚫⚫⚫

Udah lama gak up, sekalinya up dikit lagi ngetiknya hehehe.

Iem sorry. Jujurly lagi sibuk sekolah, pas hari libur pun juga sibuk.

Ntar sebisa mungkin aku cari-cari waktu luang buat ngasih up deh. See you


























MENDADAK?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang