45. Bulan ke 6

240 25 0
                                    

Perutku sudah sangat kelihatan membuncit sekali. Didalam Sini tidak hanya ada satu anak, tapi tiga sekaligus. Kami mengetahuinya saat check up ke tiga bulan lalu.

Ada tiga bulatan, dan dokter bilang itu semua adalah janinnya. Aku kaget, pasti, walaupun aku memiliki gen yang kembar dari triple, tapi yang kukira yang nantinya anaknya kembar ya adik-adik bukan aku.

Mas Tama apalagi, dia kaget sampai-sampai linglung saat mendengar langsung dari bibir dokter. Mungkin hal wajar, ini anak pertama kami, kehamilan pertamaku, tetapi Allah langsung memberi kami tiga buah hati sekaligus.

Sampai rumah kami masih diam, seperti ada hal baru yang merangsek masuk. Mas Tama membuatkan aku susu, setelahnya dia langsung memelukku erat, mengucapkan kata terima kasih yang terus dia ulangi.

Kami memang menantikan anak pertama, tapi jika ini datang langsung tiga pun kami tidak masalah, Allah sudah percayakan mereka pada kami, kami pasti bisa menjaga mereka bertiga dengan baik. Dan sekarang aku akan lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan apapun.

Sekarang ini aku sedang berdiam dirumah. Ada bapak, ibu dan adik-adik ku yang datang berkunjung di kontrakan. Sebenarnya aku masih bekerja, tapi dari rumah, Mas Tama memintaku untuk diam dirumah,  tapi aku yang masih kekeuh bekerja, jadilah tetap diizinkan bekerja tapi dari rumah.

"Sumpek Rum?" Ibu bertanya. Aku menatap Ibu yang duduk di depanku dengan bapak disebelahnya. "Iya Bu, lumayan. Mereka udah gerak-gerak dari tadi, nendang sana sini."

"Ya wajar, ada tiga langsung didalam sana. Ibu dulu ya gitu, adik-adik mu itu ya sama, lincah semua. Geraknya gak mau gantian, langsung tendang tiga-tiganya." Ibu pindah disebelahku, mengusap-usap perutku perlahan yang menimbulkan rasa rileks. "Sering-sering aja di usap, apalagi kalau di usap-usap sama bapaknya."

Aku menggeleng, tidak setuju usulan ibu, "Gak Bu. Kalau sama bapaknya mereka malah makin aktif, bisa-bisa semuanya nendang bareng."

"Ya berati dia seneng kalau lagi diusap bapaknya. Anaknya beneran itu." Bapak menyahut setelah meminum teh. Aku hanya tersenyum. Kehamilan ini sepertinya membuatku penuh kalem, anak-anak ini ingin mamanya kalem aja.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam. Loh udah pulang?"

Ada Mas Tama yang berjalan masuk dengan kedua adik laki-laki terakhirku. Ini hari sabtu, Mas Tama jelas tidak bekerja, dia libur.

"Beli apa Mas?" Aku berdiri, tapi dicegah, "Udah yang, kamu duduk aja. Biar mas yang kesana."

Seperti tahu, ibu pindah tempat duduk. Mas Tama tersenyum sopan, kemudian dia menoleh kearahku, "Mas belikan donat karakter."

"Hehehe, makasih ya Papa," aku tersenyum lebar. Dulu aku biasa saja sama donat, tapi sekarang sejak hamil aku paling suka donat, apalagi yang berkarakter, lucu dan manis.

"Kalian bawa apa?" Mereka berdua membawa kantong bawaan juga. "Martabak mbak, tadi dibelikan Mas Tama,"

"Udah bilang makasih ke Mas Tamanya?" Itu bapak, mereka berdua mengangguk serempak. "Itu dimakan, dihabiskan loh ya."

"Bu, Bu nanti ayam mati?" Arzaki, si bungsu, dia sudah memegang martabak manis di tangan kanannya, "Iya toh le, nanti kalau gak dihabiskan ayam dirumah bisa mati. Kamu mau ayam kamu mati?"

Bapak sengaja, arzaqi langsung dengan tegas menolaknya. "Makanya itu dimaem habis, sama Mas Arbie juga."

"Sama bapak, ibu juga dong harusnya. Semuanya harus ikut makan,"

Walaupun cuma dua adik terbungsu, tapi kedekatan dan keharmonisan keluarga dapat aku lihat secara jelas disini. Mas Tama mengusap perutku, "Nanti kita seperti mereka ya sayang."

Melihat kearahnya, "Iya Mas, aku juga ingin seperti mereka nantinya."

⚫⚫⚫

Didalam kamar berdua. Hari sudah malam, bapak ibu dan adik-adik sudah ke kamar. Dirumah kontrakan kami ada tiga kamar, tapi mereka semua memempati di satu kamar saja.

Arbie dan Arzaqi gak mau pisah dari bapak Ibu. Ranjang kemungkinan besar gak muat buat mereka berempat, jadi tadi Mas Tama menata kasur lantai yang cukup tebal di kamar tamu.

Kasur lantai itu sebenarnya belum pernah dipakai, ini barang bembelian Mas Tama, rencananya dulu buat tidur lesehan atau buat di ruang tengah. Tapi karena sekarang ini digunakan jadinya ganti rencana.

"Jenis kelaminnya nanti apa ya yang kalau tiga gini? Kemungkinan bisa langsung cewek-cowok gak?" Mas Tama berbaring berbantalkan pahaku.

Wajahnya menatapku, aku mengusap-usap rambut tebalnya. "Aku gak tahu sih mas, bisa jadi cewek semua, bisa jadi ya cowok semua, dan juga bisa jadi kalau cewek cowok juga nantinya."

"Mas pengennya nanti apa?" Mas Tama tidak menatapku, malah menatap langit-langit kamar. Aku tetap menatapnya, walaupun tidak dibalas.

"Mas pengennya satu cewek dua cowok, biar bisa dijaga kedua saudara laki-lakinya gitu, tapi nanti apapun itu Mas pasti akan bangga jadi Papa mereka, apalagi mereka lahir dari seorang Mama hebat, dan orang itu kamu." Setelahnya Mas Tama menggencet hidungku.

"Sakit tahu Mas. Ini hidung, bukan bebek-bebek an bocah yang ada suaranya kalau kamu gencet." Bangun dari posisi berbaring, Mas Tama langsung mencium bekas gencetannya. "Utututu sini-sini cium dulu biar ga sakit lagi. Muahhhh."

"Dah Mas malah bau jigong kamu," mengusap bekas kecupan, Mas Tama menatapku tidak suka. Dia tidak setuju dengan pernyataan dari istrinya ini.

"Makan ini jigong suami, Hah..."

Jujur aku hanya bercanda, tapi Mas Tama langsung memberikan aku jigongnya beneran. dia mangap, jadinya keluar semua aroma makanan yang baru dia makan malam ini. Untung udah apal baunya.

"Tidur yuk yang. Biar besok ada tenaga, kita kan mau ngajak jalan-jalan Ibu, bapak dan adik-adik," menatapnya curiga. Aku tidak ingin langsung mau. Mas Tama merebahkan tubuhku perjalanan.

"Tumben kamu gak minta jatah?"

Badanku dipeluknya dari belakang. Kalau dari depan sudah gak bisa. Udah kemahalang perut besarku.
"Besok pagi aja yang, jam-jam saat kamu terbangun malam. Nah kita bisa menghabiskan sisa kalori kita saat itu. Sekarang tidur."

Nah kan bener. Sejak hamil papanya makin gencar menjenguk anaknya, tapi disesuaikan juga, tidak setiap hari. Remuk nanti badanku kalau iya.

⚫⚫⚫

Haii teman

Aku sengaja buat alurnya cepat. Biar cepat juga sanpainya, ini belom ada konflik jadi aku bingung nulisnya.

Sebenarnya aku udah bingung sama cerita ini. Tapi sebisa mungkin aku kerjakan, biar gak gantung ditengah jalan dan bahkan bisa buat percuma.

Makasih dan lupp💙























MENDADAK?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang