27. Pindahan

173 26 4
                                    

Ini aku up ya. Setelah ini ga ada draf, aku lagi sibuk ngurusin Pendaftaran murid baru tahun ini. Hehehe aku masuk tahap SMA tahun ini.

Selamat membaca dan semoga suka :)

⚫⚫⚫

Tibalah hari dimana kami akan mulai pindah ke kontrakan yang sudah kami pilih kemarin lusa. Dan kemarin kami baru saja dari toko barang-barang rumah tangga untuk membeli apa yang kita perlukan di rumah kontrakan.

Semua barang-barang ku yang ada di rumah pak Pur sudah di masukan ke dalam mobil pickup untuk kami bawa bersama barang-barang yang kami beli kemarin. Cuma tersisa barang-barang yang sebelumnya ada di kamar ku dulu.

Mas Tama memasukkan peralatan rumah tangga ke dalam kontrakan kami dengan bantuan pak Pur dan Burhan. Aku dan bulek bagian memasukkan koper-koper yang berisikan pakaian Mas Tama dan juga pakaianku.

Para pria menata sekalian furniture-furniture itu di tempat yang Mas Tama tunjuk. Kami sudah berfikir untuk menempatkan dititik sebelah mana.

Dua jam lebih baru semuanya masuk. Tiba-tiba pintu rumah yang sudah terbuka di ketuk. Aku segera melihat siapa yang menjadi tamu di hari pertama ini.

Senyum aku perlihatkan setelah melihat siapa yang datang. Rupanya nenek-nenek pemilik kontrakan yang aku tempati datang dengan cucu perempuan nya. Kemungkinan anak perempuan itu baru memasuki tahap sekolah menengah pertama. Wajahnya masih wajah-wajah anak umur segitu.

"Mbah bawakan gorengan buat menemani kerja kalian." Aku tersenyum. "Repot-repot Mbah. Makasih banyak pemberiannya."

"Ndak papa. Mbah seneng rumah kontrakan ini ada yang menempati, Mbah bakal ada temennya selain cucu Mbah Hayyin. Ini cucu Mbah nak." Nenek-nenek pemilik kontrakan yang kerap di panggil Mbah Siyem mengenalkan anaknya. "Hanyin Tante."

Wanjir tante gak tu. Ya walaupun dah pantas tapi kek aneh gitu kalau panggilannya Tante, biasanya di kampung manggilnya ya bulek.

"Jangan panggil Tante. Panggil mbak rumi aja. Agak aneh kalau dipanggil Tante, gak terbiasa." Hayyin mencium tanganku. Sebenarnya agak kaku, tapi dia benar-benar anak yang bisa menghormati.

"Mbah dan Hayyin mau masuk? Mau tak kenalkan sama orang yang ada didalam sekalian." Mbah siyem mengandeng lengan cucunya. "Enggak usah nak. Mbah mau langsung pulang, Hayyin katanya tadi mau belajar buat persiapan ulangan." Mataku melihat Hayyin dan cucunya mengangguk membenarkan.

"Makasih banyak ya Mbah, Hayyin. Mbak Rumi jadi gak enak sendiri."

"Sama-sama. Kami balik rumah ya nak. Assalamualaikum." Aku tak lupa mencium tangan Mbah Suyem. Beliau mengingatkan dengan nenekku yang dua-duanya sudah lama pergi.

"Waalaikumsalam."

Membawa bungkusan gorengan yang tadi Mbah Suyem dan Hayyin bawakan buat kami. Semua orang duduk lesehan di atas tikar karena disini kita tidak ada sofa ataupun kursi lain.

"Apa itu?" Mas Tama menatap bungkusan gorengan yang aku bawa. Ku angkat gorengan itu. "Oh ini. Gorengan mas, tadi Mbah Suyem dan cucunya bawa buat kita, katanya buat menemani pekerjaan kita. Aku ke belakang dulu ya, mau ambil piring."

Mas Tama tersenyum setelah mengetahui apa yang tak bawa. Segera aku menyiapkan gorengan ini dan ku hidangkan di atas piring buat semua orang, tak melupakan satu hal. Cabai rawit dan saus untuk menemani memakan gorengan.

⚫⚫⚫

Pak Pur, dan keluarga nya belum pulang, sedangkan ini waktunya sudah senja, mereka masih ada kegiatan selanjutnya disini, dikontrakkan baru kami.

"Mas ini pecinya," Mas Tama tersenyum setelah aku memperlihatkan peci hitam yang tadi dia cari-cari. Emang kebiasannya kalau habis solat diletakan tidak di tempatnya lagi.

"Pakaikan ya," Aku yang tersenyum saat ini. "Sini mendekat biar aku lebih mudah memakaikan nya."

Mas Tama sedikit menunduk untuk mempermudah aku memasangkan peci di atas kepalanya. Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Tama menciumiku tepat di atas bibir.

"Hei kenapa kaget gitu? Bukannya kita sudah dua kali melakukan? Kamu kayak masih kaku gitu. Perlu terbiasa?" Aku menggeleng. "Aneh-aneh aja kamu mas. Sana keluar, udah ditunggu yang lain, aku mau memakai jilbab dulu."

Rambutku diusapnya. "Jangan lama-lama hm? Gak usah dandan segala, kecantikan mu hanya milik Mas, dan Mas menyukai kamu yang natural."

Mas Tama keluar kamar. Dan aku memakai jilbab simpel saja biar cepat, dan aku menuruti permintaan Mas Tama kalau tidak dianjurkan berdandan. Ibu juga dulu pernah berpesan, 'dandan lah cantik buat suami, bukan maksud untuk pria lain'.

Asyiap aku akan lakukan seperti anjuran dan saran terbaik.

Aku keluar kamar, sudah ada Mbah Suyem, hayyin dan pak Pur berserta keluarganya yang sudah duduk untuk tasyakuran rumah kontrakan ini. Seperti kebiasaan, tasyakuran ini kami ingin rumah yang akan kami tempati menjadi rumah yang aman damai dan sejahtera.

Untuk orang lain yang ngontrak tidak ikut. Bukan karena aku dan mas Tama gak mau ngundang, tapi masalahnya itu mereka Tinggal tidak satu lingkungan dengan kami.

Kontrakan tetap punya Mbah Suyem, tapi mereka ngontrak yang bagian lingkungan dalam kampung. Sedangkan rumah kontrakan kami masih di area kota, dan lebih dekat dengan kontraktan pemilik nya sendiri.

Dengan dipimpin doa Pak Pur sebagai pria yang tertua disini. Kami memanjatkan doa-doa untuk kesejahteraan calon rumah. Bismillahirrahmanirrahim harapan besar kami ada disini.

Setengah jam sudah selesai acaranya. Kami makan-makan senagai penutupan, dan tak lama setelah itu pak Pur, bulek Tatik dan Burhan pamit pulang.

Sebenarnya ingin meminta mereka menginap saja, tapi masalahnya dikontrakkan ini cuma ada satu kamar. Ditambah bulek Tatik yanh pagi-pagi sekali sudah harus ke pasar untuk belanja warung makannya.

Tinggal lah Aku, Mas Tama Mbah siyem dan juga Hayyin yaang masih tetap disini. Ingin mengaprapkan diri dengan mereka juga. Bisa jadi kita akan menjadi tetangga di waktu yang tidak singkat.

"Hayyin kelas berapa kalau Mbak Rumi boleh tau," Orang yang bernama hayyin tersenyum lugu. "Masih kelas delapan SMP mbak."

"SMP mana? SMP yang ada di depan rumah dinas?" Mas Tama yang bertanya.

"Enggak om. Aku sekolah di SMP yang cuma berjarak hanya kurang dari 1kilometer dari rumah. Kalau kesana lumayan jauh. Aku gak mau ninggalin Mbah sendirian lama-lama." Aku ingin tertawa saat dia memanggil mas Tama Om. Udah cocok si, tapi masih lucu aja gitu.

Bibir mas Tama mendekat ke telingaku. "Tertawa aja yang puas jangan ditahan." Tidak jadi aku tertawa. Entah semuanya kotak tertawaku menghilang.

"Om kira sekolah disana. SMP kamu agak tersembunyi ya tempatnya?" Hayyin mengangguk. "Iya om. SMP ku harus masuk gang kompleks dulu."

Kami saling diam, Mbah suyem berucap. "Hyin pulang ya. Mbah udah ngantuk, kamu juga harus cepat tidur."

Mbah suyem berdiri, hayyin ikut berdiri membantu neneknya. Aku dan mas Tama juga ikut berdiri. "Iya Mbah. Mbak, om kami pulang dulu. Makasih undangannya."

"Perlu diantar gak?" Aku takut sendiri. "Enggak usah nak. Yok Hyun kota pulang. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Mereka keluar rumah. Tangan Mas Tama merangkul pinggangku, aku melihatnya sebentar, di malah tersenyum melihatku yang sedang melihatnya.

Kami mengantarkan sampai drlan pintu, dan baru masuk rumah saat mereka sudah benar-benar masuk halaman rumah. Rasanya seperti memiliki nenek jika melihat Mbah siyem. Orang tua yang tidak pantang menyerah.

⚫⚫⚫

Oke sudah klear

Aku nulis ini nahan ngantuk, tapi harus menyelesaikan part ini juga sulaya ide nya gak menghilang.

Ughh luv💚































MENDADAK?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang