Jika saja bisa dan mampu, mungkin oplas jalan yang akan ditempuh Qila untuk merubah wajahnya agar tak perlu repot-repot berbohong dan takut akan ketahuan. Jika bukan oplas, setidaknya inginya lebih memilih untuk memakai topeng yang gampang bisa dikenakan dan dilepas saat itu juga. Tapi ia merasa ngeri sekaligus, jika saat memakai topeng, seseorang melepasnya secara paksa dan hidupnya berakhir malu sepanjang sisa. Apalagi tertangkap basah menguntit suami sendiri. Ngeri-ngeri swedap man...
***
"Qi, tadi kamu belanja di mini market depan Ombo?" Kata sambutan Mas Anda ketika aku baru saja memarkirkan motor di garasi. Baru banget aku sampe rumah langsung diberondong pertanyaan kaya gitu. Biarin aku nafas dulu kali mas. Ombo itu nama cafe yang aku lihat Mas Anda tadi.
Aku melenggang saja melewati Mas Anda menuju dapur sambil menjinjing dua kantong kresek belanjaan. Aku meletakan belanjaanku di dapur untuk kupilah-pilah menurut jenisnya yang akan ku letakan pada kabinet yang terpisah nanti. Mas Anda mengikuti di belakangku.
Aku berbalik. "Mas udah makan?" Aku males jawab pertanyaan Mas Anda dan lebih memilih menanyainya balik. Tak lupa aku memasang mimik yang super datar agar Mas Anda tak curiga. Kan malu mesti mengakui habis nguntit dia.
Mas Anda meletakan tanganya di stol bar dapur sambil memandangiku. "Udah." O.. ternyata jujur dia. "Kamu sendiri, kok baru sampe? tadi belanja di mini market depan Ombo itu kan?" Tanyanya ulang.
Lagi-lagi aku pasang tampang dan suara yang super normal. "Enggak." Aku mengelak. Aku berjalan melewatinya menuju kamar. Gerah pengen cepat-cepat mandi.
Aku menaiki tangga demi tangga menuju ke lantai dua. Mas Anda tetap mengekoriku. Aku membuka pintu dan lekas masuk ke kamar.
"Kok baru pulang? Udah makan?" Tanyannya dengan pertanyaan yang sama.
"Tadi ban motor bocor." Jawabku sambil mengambil pakaian ganti di lemari.
"Kok nggak nelpon suruh jemput. Terus gimana? Kamu ngedorong dong, Qi?" Tanya Mas Anda lagi. Aku mengedik acuh.
Mas Anda masih mengikutiku padahal aku sudah masuk kamar mandi. Dia bersandar di kusen pintu.
"Misi, pak Abdi. Saya mau mandi dulu, gerah. Bau acem." Aku mengusirnya sambil mengibas-ibaskan ketekku di depan Mas Anda. Muka Mas Anda tak berekspresi, dia malah menjepit hidungku lalu pergi.
***
Adzan isya' terdengar bertepatan dengan aku selesai mandi. Badanku wangi dan segar. Membuat badmoodku juga hilang. Aku turun ke bawah berniat untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Aku berjalan melewati Mas Anda yang baru pulang dari Masjid terdekat dan berlanjut berkutat pada laptopnya di meja makan.
"Belum makan?" Mas Anda bertanya saat melihat aku menyendok nasi di majic jar dekat kulkas. Ia mengedikan kepala ke samping kirinya. Ada sebuah kresek. "Tuh, aku bawain bakso yang deket Monjali."
Aku meletakan piring yang penuh dengan nasi ke meja. Aku singkirkan kresek yang berisi bakso yang menjadi favoritku selama aku di Jogja ini. Menurutku, bakso ini rasanya mirip dengan bakso-bakso yang dijual di kampungku. Entahlah, kenapa kali ini mendengar Mas Anda mengucap kata bakso dekat Monjali saja aku tak nafsu. Ada apa dengan hari ini? Aku menyendok nasi. Aku makan dengan khusyuk nan lahap.
"Tadi itu kamu kan Qi yang di mini market depan Ombo?" Mas Abdi membahasnya lagi. Ia masih sambil berkutat pada laptopnya. Padahal aku sudah susah payah mengalihkanya tadi. Ditambah pasang tampang dan suara yang super meyakinkan.
"Apaan sih Mas? Kan udah dijawab tadi. Bukan. Orang aku belanja di swalayan Hightermart."
"Masak? Walaupun dari jauh aku masih ngenalin kamu kali, Qi. Pake masker, pake topi. Minjem topinya siapa? Mata belo kamu sama alis kamu yang aku yakin banget itu kamu. Tingginya, krempeng-krempengnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGABDI
RandomSetelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel terhadap suaminya. Seperti orang bilang : Jangan terlalu cinta nanti jadi benci. Jangan terlalu benci...