Kesiapan dalam berumah tangga itu tidak mengenal usia. Sesiap apapun kita berumah tangga, percayalah, dalam prakteknya tidak semudah itu. Tapi setidaknya dengan kesiapan itu akan mempengaruhi tindakan kita saat badai besar menerjang dan menghantam bahtera.***
Huhff, aku menghembuskan nafasku kasar. Entah mengapa, meriyang menjadikan semenyebalkan ini, ya? Mungkin karena sudah terlalu lama aku tidak merasakanya.
Dan yang menjadikan aku sebal saat ini, apalagi kalau bukan respon Mas Anda, "disyukuri, Qi. Dengan diberi sakit, jadi bertambah kan rasa syukur kita, kala kita sehat. Sakit juga bisa jadi penggugur dosa kita, kalo kita ikhlas dan selalu iringi dengan berdzikir."
Sok-sokan khotbah. Dia belum tahu saja rasanya gimana. Tentu saja ia tak tahu rasanya, kan aku yang sakit.
Aku jarang sakit sebenarnya. Setahun sekali pun jarang. Alhamdulillah. Makanya performa kerja tim di D&C dulu memuaskan. Sekalinya sakit begini, malah tumbang.
Memang sih Mas Anda jadi perhatian dengan membelikanku bakso yang deket Monjali. Tahu aja dari dulu memang kalau lagi meriyang gini aku hanya mau makan bakso. Qila yang receh memang. Tapi sepertinya ini bukan meriyang yang biasanya. Karena rasa kuah bakso yang biasanya segar diseruputnya, kali ini terasa pahit dan asin doang di lidah.
Apalagi ada kejadian setelahnya. Sesaat Mas Anda beranjak keluar kamar setelah menyuapkan bakso tadi, aku melihat ponsel Mas Anda yang terletak di nakas berkedip dan bergetar dengan bunyi yang khas menandakan pesan masuk. Sekilas melihat dari bilah pop up.
"Mas, plis kita ketemu. Aku tunggu di tempat biasa. Kali ini yang terakhir. Tolong banget mas."
Jantung ini rasanya berpacu cepat. Cobaan apalagi ini Tuhan. Rasanya baru kemarin rumah tangga kami memulai kembali dari awal. Dan aku berharap tidak ada lagi badai menerjang. Tapi lagi-lagi harapan naifku kembali terbantahkan. Apalagi dengan nama yang bertengger dari si pengirim pesan.
Rupanya intuisi seorang istri tak bisa dibohongi. Dan aku sudah menduga ketika dua bulan lalu ponsel Mas Anda berdering berulang kali yang menampangkan nama yang sama dengan si pengirim pesan barusan dalam panggilang calling waktu itu. Tepatnya saat kami nginep di hotel malam itu.
Meski Mas Anda bilang tak ada apa-apa tapi aku tahu itu sebaliknya. Karena apa? Karena intuisiku sebagai seorang istri.
Bahkan sejak itu, aku lihat Mas Anda selalu merejeck panggilan dari orang tersebut. Mungkin karena kebetulan aku selalu ada di dekatnya saat ada panggilan dari orang tersebut.
Sebenarnya ponsel Mas Anda nggak ada kuncinya juga sih. Tapi aku tetap tak enak hati untuk mengutak-atiknya karena itu bagian dari privasinya. Aku tak pernah membuka-buka ponselnya kecuali aku ijin dulu ke Mas Anda. Maka saat pesan itu aku lihat di bilah pop up, seperti ada tamparan ke muka. Keras dan perih sekali.
Bukanya aku tak menjadikan kejadian di hotel waktu itu sebagai hal yang luar biasa dan lebih meluarbiasakan hal sereceh pesan seperti ini. Aku hanya berpikir bahwa dari yang aku lihat di hotel itu memang bukan keingiinan Mas Anda. Yang aku lihat respon Mas Anda waktu itu, pasif, diam dan terkejut. Beda dengan kejadian aku illfeel padanya kali pertama. Tapi yang menjadikanku tertampar oleh hal sesepele pesan ini, karena selama ini Mas Anda selalu mengelak tentang orang ini.
Selama ini aku kira rumah tanggaku berjalan normal seperti rumah tangga pada umumnya, setelah malam kami di hotel itu. Namun, Mas Anda masih menyimpan rahasia yang tak ia bagi ke aku rupanya.
Maghrib hampir menjelang, dan Mas Anda kembali ke dalam kamar lagi untuk menuntunku bertayamum. Badanku masih panas. Tadi saat buang air kecil, cebok pakai air rasanya menggigil bukan main. Makanya aku tak dibolehkan kena air dulu.
![](https://img.wattpad.com/cover/266051188-288-k664571.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGABDI
RandomSetelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel terhadap suaminya. Seperti orang bilang : Jangan terlalu cinta nanti jadi benci. Jangan terlalu benci...