Tujuh belasan merupakan rangkaian acara untuk menyemarakan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Biasanya diisi dengan lomba-lomba dari tingkat RT sampai Nasional. Tak terkecuali tingkat sekolahan.Kompetisi sepakbola antar sekolah SMA tampaknya menjadi salah satu yang bergengsi. Hingga tak pelak berduyun-duyun siswa-siswi hadir untuk menjadi supporter bagi tim sekolah masing-masing.
Qila dan Hana berangkat bersama Dimas - teman satu sekolahan dan satu desa yang kebetulan menjadi salah satu pemain inti tim sepakbola sekolah mereka.
Peluit dibunyikan tepat pukul 15.30 WIB. Pertandingan begitu sengit. Kedua tim tak mengendorkan serangan, pun hingga babak kedua berlangsung. Sampai di menit 84 sorakan menggema dari tim lawan.
Nama pencetak gol dielu-elukan. Sampai telinga Qila berdengung kencang. Ingin rasanya menyumpal mulut-mulut cewek yang sedari tadi meneriakan nama si pencetak gol. Serius, panas bukan main rasanya telinga Qila. Hingga menit ke sembilan puluh dan tambahan waktu tiga menit nama itu tak luntur dibicarakan para supporter perempuan. Peluit panjang dibunyikan dengan hasil 1:0 yang dimenangkan tim lawan. Para pemain saling bersalaman untuk supportivitas.
Pertandingan telah usai. Qila rasanya ingin segera pulang. Tapi apa daya tadi ia dan Hana ke sini dibonceng Dimas. Dimas masih bersama para pemain lain mendengarkan arahan pak Sol - guru olahraga sekaligus pelatih tim sebakbola SMA mereka.
Qila duduk di pinggiran lapangan di sebelah Hana. Lapangan ini dikelilingi sawah pada sisi Utara dan Timur. Bahkan pematang menjadi batas antara sawah dan lapangan. Di sebelah Barat terdapat jalan yang hanya bisa untuk lewat satu mobil saja. Para penonton berangsur-angsur pulang. Tapi masih ada beberapa penonton terutama para cewek yang berkerubung meminta foto pada man of the match hari ini.
"Qi!"
Qila menoleh pada sumber suara. Si man of the match berdiri tak jauh dari Qila dengan senyum andalanya bersama dua orang temanya.
Qila bangkit berdiri. Duduknya terusik oleh kedatangan si man of the match. Ia ingin menjauh. Qila berbalik dan melangkah.
"Qi.." si man of the match berjalan cepat mendekati Qila. "Kamu lagi dapet?" Tanyanya dengan suara lirih di samping Qila.
"Hah?" Seketika Qila gelagapan bin terkejut. "Gi-gimana_?" Tanyanya gelagapan dengan suara ketus.
"Itu rok kamu." Tunjuknya ke bagian belakang badan Qila. Dengan sigap si man of the match melepas jerseynya dan mengangsurkan ke Qila. "Pakai itu taliin di pinggang kamu buat tutupin!"
Qila berpikir sejenak.
"Udah pake aja. Dari pada malu ya, kan?"
"Terus Mas Anda gimana?" Qila sebenarnya gengsi juga mesti menerima uluran tangan setelah niat awalnya ia berencana melarikan diri dari orang yang Qila illffel sejak setahun lalu.
"Gampang. Baju aku ada di jok motor." Jawab si man of the match yang tak lain Karanda. Ia menarik tangan Qila, "ayo, aku antar pulang!"
"Hana?"
"Han, kita balik dulu." Pamit Karanda pada Hana. Hana mengangguk dan mengisyaratkan bahwa ia tak apa-apa untuk pulang dengan Dimas.
Belum melangkah namun Karanda dipanggil dua temanya yang berdiri tak jauh dari situ. "Woe well, mau kemana?"
"Pulang, antar bini dulu." Jawabnya sambil belambai ke kedua temanya berganti menunjuk Qila. "Kalo sampe maghrib gue belum balik ke sini, sepatu gue tolong urusin yo well!" Karanda berseru lagi pada temanya. Yang dibalas temanya mengacungkan kedua jempolnya.
Jawaban itu yang sukses membuat Qila langsung menggeplak lengan Karanda keras. "Apaan sih mas. Illfeel tahu!" Kesalnya pada Karanda.
"Ih, baper.." tunjuknya pada wajah Qila dengan suara yang ngeselin.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGABDI
RandomSetelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel terhadap suaminya. Seperti orang bilang : Jangan terlalu cinta nanti jadi benci. Jangan terlalu benci...