Ketika kata stigma ataupun stereotip telah menempel lekat pada diri seseorang, saat itu kecil kemungkinan untuk merubah ataupun menghapus cap tersebut bahkan sama sekali.
Seorang laki-laki playboy telah terstereotip dengan kelihaianya mem-PHP perempuan baik melalui kata-kata maupun tindakan.
Qila tahu sejak cap playboy ia sematkan untuk Karanda, maka sulit untuk menarik kembali kata tersebut dari pandanganya. Meskipun kini Karanda telah menjadi suaminya.
Mantan playboy kini sebutan yang Qila sematkan pada Karanda. Untuk menghapus cap playboy tidak semudah menghilangkan noda kecap di baju kesayangan. Dan Qila cukup tahu dan sadar bahwa menikah dengan seorang Karanda mantan playboy cap Gajah sesungguhnya memang ia harus menyiapkan hati yang luas untuk hanya sekedar bertemu dan menyapa para mantan-mantan Karanda ataupun pacar syah-nya, mungkin?
Tapi setelah kejadian itu benar-benar ada di depan matanya. Ia tak bisa berpikir meski itu hanya sekedar say hi atau 'apa kabar perkenalkan aku istri Mas Anda'. Ia memilih kabur. Hatinya ternyata tak sekuat seperti apa yang telah ia rencanakan.
Bahkan ia hanya berani berprasangka terhadap itu semua. Hingga prasangka tersebut rasanya sekarang telah membunuh dirinya.
Pada hakikatnya Karanda bukanlah tipe laki-laki yang mudah mengobral janji ataupun PHP, bukan pula laki-laki yang pintar merayu. Justru para perempuan lah yang dengan rela hati untuk merayu Karanda karena paras dan juga pembawaan Karanda yang luwes dalam pergaulan. Dan tentu saja Karanda dengan senang hati merasa wajib membalas dengan memberikan perhatianya pada perempuan-perempuan ini. Setidaknya itu yang Qila tangkap dulunya.
Namun, semakin ke sini semakin Karanda memanfaatkan itu semua. Dan kini ada sebutan lainya yang Qila sematkan untuk Karanda. Kalau diperbolehkan Qila ingin memanggilnya dengan panggilan pakboi si pemilik penangkaran buaya.
***
"Ke Jakarta? Ngapain?"
"Ya nengokin Bapak Ibu lah. Kangen tahu Mas, udah enam bulan nggak ketemu."
"Lebaran nanti juga insya Allah ketemu kok, Qi. Gak, gak. Pokoknya Aku belum bisa, Qi. Proyeknya aja masih kesendat-sendat gini. Tunggu sampai proyek ini berjalan lancar dulu, ya!"
"Siapa juga yang ngajak Mas. Aku sendiri aja maksudnya."
Perdebatan ini dimulai ketika aku memutuskan ijin ke Mas Anda untuk ke Jakarta. Sebuah keputusan impulsif. Aku tahu Mas Anda tidak akan mudah mengijinkanku ke Jakarta apalagi sendiri. Tapi aku punya rencana yang tercetus tiba-tiba saja dari otakku.
Mas Anda menatapku tajam. Dengan rambut halus yang tumbuh di sekitar rahangnya, menjadikan setingkat lebih maskulin? mungkin selama di Magelang ini ia tak sempat untuk bercukur atau sengaja untuk tampil beda di depan pacarnya. Mungkin.
Mas Anda masih berdiri menjulang di depanku sambil menatapku. Ia lalu mengambil ponsel dari celananya. "Kamu kenapa sih, Qi?" Sambil menggeser-nggeser layar ponsel, ia lalu menekan sambungan telphon. Ia meletakanya di telinga. Terdengar Mas Anda menjawab salam dari seberang.
"Wil, lagi di mana?"
"......."
"Ada. Di sini."
"......."
"Iye. Yaudah kirain kemana. Besok jangan kasih akses lagi ke bu Cindy. Ilfeel. Lagian nggak minta persetujuan, ngasi tahu aja tempat aku nginap."
"....."
"Ya gitu pokoknya. Udah, aku kelarin dulu sama istri. Ngambek dia."
"........"

KAMU SEDANG MEMBACA
MENGABDI
RandomSetelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel terhadap suaminya. Seperti orang bilang : Jangan terlalu cinta nanti jadi benci. Jangan terlalu benci...