18

2.4K 167 15
                                    

Kata orang saat kita berumur tiga puluh, rasanya hidup ini bisa menggenggam dunia. Dan itu yang aku rasakan sekarang ini.

Sekarang aku dua sembilan. Tapi aku berkali lipat bersyukur karena diumur menjelang tiga puluh ini kehidupanku sempurna. Ya, setidaknya itu yang aku rasakan. Menikah dengan seorang Karanda dan pernikahan kami kini berjalan baik-baik saja setelah semua drama yang kami lalui sebelumnya. Bersyukur. Setidaknya hanya itu yang aku terus ungkapkan saat ini.

Malam itu, sungguh menjadi titik balik bagiku. Saat aku mendengar suara Mas Anda melafadzkan surat Arrahman. Tak kupungkiri tubuh ini rasanya bergetar. Mas Anda yang telah aku stereotip dengan berbagai sebutan. Mas Anda yang aku illfeel setengah mampus sama dia dari kelas 9 SMP. Dan Mas Anda yang selalu aku umpat setiap saat.

***

Malam itu

Kalau aku hanya bisa nyinyir Mas Anda yang sok alim, sok religius, dan bla bla bla lantas aku ini apa? Menutup aurat saja aku belum menjalankanya. Padahal itu jelas-jelas suatu yang diperintahkan dalam kitab suci. Ah.. dada rasanya sesak sekali. Kucengkeram dadaku. Lalu aku menepuk-nepuknya. Ya Allah... sakit.. Astaghfirullah, astaghfirullah.. hanya kalimat itu yang aku bisa lafalkan.

Saat pintu kamar terbuka Mas Anda berdiri masih dengan memegang handle pintu. Mas Anda seperti heran kenapa aku menangis sesenggukan. Sambil membenahi hijab yang aku pakai asal-asalan. Langsung saja aku berlari menubruk Mas Anda yang setia berdiri. Aku memeluknya erat. Berulang kali aku meminta maaf kepadanya.

"Maafkan aku Mas.. maafkan aku.. " sesenggukan, air mataku meluncur deras.

Tak ada sepatah katapun yang diucapkan Mas Anda. Hanya mengusap-usap punggungku dan menciumi kepalaku dibalik hijab yang aku kenakan asal.

Terdengar helaan nafas.

"Mas, maafkan aku Mas..." aku menghiba padanya.

Mas Anda mencoba menenangkanku. Menuntunku untuk duduk di tepian kasur.

Detik demi detik kulalui dengan sapuan tangan Mas Anda di kepalaku. Hingga detik berlalu Mas Anda tetap mengelus punggung dan kepalaku.

"Bukan kamu yang harusnya minta maaf, Qi. Aku lah yang brengsek dan bajingan. Bagaimana mungkin aku seorang laki-laki beristri tak mampu menolak ciuman perempuan yang bukan istrinya. Maafkan aku, Qi. Tolong jangan pergi. Sungguh aku tetap ingin rumah tangga kita baik-baik saja." Kalimat Mas Anda setelah sekian lama dalam keterdiaman yang malah membuatku semakin tergugu.

"Enggak, aku yang harus minta maaf Mas. Aku yang setiap hari mengumpati Mas. Bahkan aku illfeel sama Mas Anda dari jaman SMP."

Mendengar kata-kataku Mas Anda menghentikan usapanya di punggungku. Aku rasa aku siap untuk mendapat ketidak_maafan Mas Anda atas kesalahanku. Terlalu banyak dosaku padanya. Hanya karena rasa illfeelku lantas aku selalu menegatifkan semua tindakanya. Menafikan semua kebaikanya. Tanpa bertabayyun, aku malah menyebutnya berkhianat. Dengan semua itu seharusnya Mas Anda tidak memaafkan, bukan? Aku perempuan dengan bercak noda dosa, sedang masih banyak di luar sana perempuan yang pantas Mas Anda pilih dan lebih berhak menjadi pendampingnya.

Mas Anda masih memeluku. "Aku tahu kamu selalu mengumpatku dengan sebutan 'Keranda' atau pun playboy. Tapi baru tahu kamu illfeel sama aku dari SMP." Suara lirihnya malah terdengar seperti sedang bercanda.

Ah, rasanya aku mau memukul mulut sendiri. Kenapa juga harus mengungkapkan rasa illfeel yang aku pendam rapat-rapat selama ini. Harusnya aku meminta maaf saja tanpa harus menyebutkan segala kealpaanku. Bahkan kejadian kali pertama aku illfeel sama Mas Anda tak kuceritakan pada Hana. Hana hanya tahu aku illfeel karena Mas Anda terus mengolokku dan mempermalukanku di depan teman-temanya. Rasanya ingin meminjam kantong ajaib doraemon agar aku bisa tenggelam ke laut saja. Kan malu.

MENGABDITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang