Dari awal Qila memang tak berharap banyak pada pernikahanya. Ia pikir, menerima perjodohan dengan teman semasa kecilnya, akan membuat pernikahanya menjadi mudah untuk dijalani.Nyatanya, hingga sebulan ia menikah dengan Karanda Abdi Utama bagaikan menjalani bahtera yang sedang bersandar pada tepi lautan. Stuck, tak berjalan kemana-mana. Sikap canggung masih membersamai kebersamaan mereka. Bahkan tak jarang Karanda lebih memilih pulang tengah malam dengan alasan lembur banyak kerjaan.
Alasan macam apa coba? pengantin baru yang harusnya lagi hangat-hangatnya malah lebih memilih lembur bahkan pulang hingga pagi hampir menjelang.
Qila cukup tahu diri. Mana mungkin Karanda mantan playboy cap Gajah ini melihat dirinya. Bahkan melirikpun tak akan pernah. Dulu memang ia cukup lumayan dekat tapi hanya dekat sebatas teman kecil saja. Sejak ia masuk SMP dan beranjak ABG, ia jadi malu sendiri untuk bermain dengan Karanda. Tipikal anak ABG yang sudah mengenal lawan jenis. Jadi perlahan pertemanan mereka menjauh dan semakin jauh. Apalagi sejak kejadian di mana Hana teman mainnya sekaligus teman sekolah SDnya yang satu SMP dengan Karanda bercerita, bahwa banyak cewek yang memperebutkan Karanda untuk menjadi pacarnya. Makin menjauhlah dia.
Qila tak suka memperebutkan sesuatu apapun dengan orang lain. Termasuk Karanda. Ups, Apa coba? Memperebutkan Karanda? Yang benar saja. Kegeeran nanti dia.
***
Sore ini, seperti sore biasanya. Aku pulang tenggo. Bagi pegawai baru sepertiku tak banyak yang bisa kukerjakan. Hanya mengerjakan pekerjaan ringan yang harusnya minim kesalahan. Maklum baru belajar.
Dalam perjalanan pulang seperti ini, biasanya aku mampir ke warung untuk beli lauk untuk makan malam kami. Cuman, hari ini moodku lagi baik, jadi aku putuskan untuk masak saja.
Eits, jangan underestimate dulu. Gini-gini aku lumayan bisa masak berbagai masakan. Waktu aku kuliah dulu, aku sering membawa hasil masakanku yang aku jual ke teman-teman kampusku.
Sederhana saja. Hari sebelumnya aku telah buka PO, menawarkan ke teman-teman bahwa aku akan masak menu misal, klapertart atau makaroni schotel. Aku list anak-anak yang order dan besoknya aku membawa orderan. Kadang juga aku membawa buah-buahan jualan Bapak untuk aku tawarkan ke teman-teman. Kadang juga aku membawa lebih dari orderan. Karena sering kali banyak yang membeli langsung tanpa PO terlebih dahulu. Nah, makanya dulu aku pede untuk mendaftar marketing di D&C meski melenceng jauh dari pendidikanku.
Oh ya, omong-omong soal Bapak. Bapak adalah pedagang buah di Pasar Induk Kramat Jati. Bapak sudah memulai daganganya ini sejak aku masih kecil. Dan setelah aku lulus SMA, Ibu membawa kami semua ke Jakarta untuk mengurus dan bantu-bantu Bapak di sana.
Balik lagi ke masak. Di kulkas masih ada daging dan beberapa sayuran. Tapi aku sedang pengen buat sesuatu yang pedas. Sebenarnya aku sedang pengen sekali kluban (urap) semanggi khas kampung halamanku.
Tahu kan salah satu bundaran di Jakarta yang terbagi empat lingkaran itu? Iya Bundaran Semanggi. Begitupun rupa semanggi sesungguhnya, berhelai empat daunya. Rasanya manis gurih jika sudah dimasak di penggorengan tanpa air, tanpa minyak, dan dibumbui sambal kelapa. Kalau istilah di kampungku namanya digoreng sangan. Dan biasanya digoreng di wajan gerabah dari tanah liat rasanya akan lebih keluar dan aromanya khas banget. Apalagi masaknya fresh segera setelah dipetik. Rasa manisnya kayak manis yang gimana gitu. Lebih enak lah pokoknya.
Biasanya dulu ketika waktu aku kecil. Ibu biasa memasak kluban semanggi sore hari seperti ini. Karena semanggi dipetik biasanya setelah waktu Ashar dan langsung dimasak sore itu juga. Apalagi hujan rintik seperti ini vibe-nya pas sekali, dan ditambah gereh (ikan asin) pasti akan nambah nasi berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGABDI
RandomSetelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel terhadap suaminya. Seperti orang bilang : Jangan terlalu cinta nanti jadi benci. Jangan terlalu benci...