Seorang Karanda memang playboy cap Gajah dulunya. Tak pernah sekalipun terbersit di pikiran Qila bahwa dalam semesta yang luas ini akan bertemu pada salah satu mantan pacar Karanda atau minimal salah satu fangilrnya yang masih memendam rasa cinta lama belum kelar. Karena dari dulu ia tak pernah mau berebut apapun dengan orang lain. Ia lebih memilih mundur jika itu terjadi.
Qila akui ia terlalu lemah dan tak percaya diri untuk memperebutkan sesuatu. Tak terkecuali laki-laki. Namun lain hal jika laki-laki itu sudah berstatus menjadi suaminya. Apa mundur tetap menjadi jalan yang terbaik untuk dipilihnya?
***
Panas - terik - hujan aku menjalani hari-hariku di Jogja. Di Sabtu pagi yang cerah ini, Mas Anda mengajaku ke pasar naik motor boncengan setelah tadi terjadi adegan aku terpeleset kerikil kecil di depan rumah. Nggak ada adegan peluk-pelukan lah. Bahkan aku malah lebih memilih pegangan pada besi pembatas jok sebelah belakang. Boncengan gini aja rasanya awkward banget.
Aku membonceng Mas Anda sambil pikiran menerawang. Masih belum move on kata-kata Mas Anda tadi. Apa katanya tadi? Aku disamakan sama ayam? Yang benar saja. Aku baper? Lihat aja, lain kali bakal aku balas dia. Bakal aku buat dia lebih baper sebaper-bapernya.
Saat sebuah cubitan bersarang di hidungku membuyarkan lamunanku pada kata-kata Mas Anda tentang kebaperan aku.
"Aduh, sakit tahu Mas!" Aku menepis tangan Mas Anda yang bersarang menjepit hidungku.
"Udah sampai. Apa mau gelendotan terus? Aku tahu punggung aku itu senderable." Katanya penuh dengan kepedean.
Dih pede banget. Apa katanya? Senderable? Dapet kata-kata dari mana dia? Kayak bahasa ibu-ibu di dunia pershiperan artis Korea. Aku sampai speechless.
"Nggak sekalian pelukabel, Gelendotable." Sewotku kesal, sedang Mas Anda hanya terkekeh menanggapinya.
Saat aku tersadar, rupanya memang sudah sampai di pasar tradisional yang dimaksud Mas Anda. Kami berkeliling. Tujuan pertama daging, aku membeli beberapa gram. Terjadi adu mulut kecil antara aku dan Mas Anda. Mas Anda memintaku untuk membeli sekalian banyak daging. Tapi aku menolak dengan alasan aku tak memasak daging setiap hari. Jika beli terlalu banyak akan tidak fresh lagi meski itu diletakan di fresher.
Oke lanjut. Kemudian kami berbelok ke bumbu-bumbu dan juga sayur-mayur. Tak lupa aku membeli tahu tempe dan juga kerupuk. Aku juga membeli ikan asap dan... tunggu. Aku familiar dengan makanan yang dijajakan salah satu pedagang yang berjongkok di pinggir jalan. Aku mendekat menghampirinya diikuti Mas Anda. Dan tak salah lagi kalau ini adalah.... Gayam.
Wow, tak menyangka baru kali ini aku menemukan gayam selain di kampungku. Dulu pas aku kecil buah ini sangat familiar di kampungku. Karena banyak pohon gayam yang tumbuh liar. Dan pada saat musimnya berbuah, jika ada angin kencang, gayam tua akan berjatuhan dengan sendirinya. Kami para anak kecil berlarian memperebutkan gayam tersebut. Termasuk aku dan Mas Anda dulu pernah saling berlari berlomba memperebutkan gayam yang berjatuhan dari pohonya yang besar dan tinggi. Dan berakhir aku yang nangis karena hanya memperoleh sedikit dari perburuan kami, sedang Mas Anda mendapat banyak banget satu kresek penuh.
Dulu, Mbah Yayi memasak gayam biasanya dengan direbus. Kadang kalau banyak, dijual di pasar seperti ini. Sangat laris karena sudah lama di desa-desa lain selain desa kami pohon gayam sudah tak ada lagi.
Kalau yang asing bagaimana rupa gayam, oke aku jabarkan. Gayam itu agak mirip-mirip jengkol menurutku. Baik rasa maupun bentuk. Kulit luarnya keras dan termasuk dalam family kacang-kacangan. Kalau sudah direbus maka rasanya gurih. Apalagi gayam yang sudah tua. Rasanya akan semakin gurih meski merebusnya juga harus memerlukan waktu yang lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGABDI
AcakSetelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel terhadap suaminya. Seperti orang bilang : Jangan terlalu cinta nanti jadi benci. Jangan terlalu benci...