Berhijab sejatinya merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Sang Pembuat Syariat. Tertulis jelas di dalam kitab suci.
Sebuah kewajiban sejatinya adalah sesuatu yang harus dilaksanakan.
Dalam Islam, sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan itu sejatinya pasti ada alasan-alasan yang sangat bisa diterima akal rasio manusia normal.
Segala sesuatu yang haram itu merupakan sesuatu yang banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Halal kebalikanya. Sebagai contoh minuman khamr itu ada manfaatnya, tapi mudharatnya lebih besar dibanding manfaatnya. Sebab itu minuman ini diharamkan. Dan ini bisa dikaji secara ilmiah.
Begitupun perintah berhijab. Pasti paling tidak, mengurangi kemudharatan dari pada perempuan yang tidak memakai hijab.
Namun, kesadaran berhijab itu sungguh masih sangat menjadi pilihan bagi masing-masing perempuan. Meski perintah itu sudah tertulis jelas dalam kitab suci dan sebagian perempuan sudah tahu akan adanya perintah itu.
Seperti Qila. Ia sangat tahu bahwa perintah berhijab itu tertulis dalam kitab suci agamanya. Namun, untuk menjalankanya ia masih enggan dengan alasan nunggu hidayah.
***
Jelas ini tak seperti biasanya. Moodku benar-benar anjlok. Dengan kata-katanya, secara tak tersirat Mas Anda mengharapkanku untuk berhijab. Aku benci saat orang lain mengatakan itu.
Aku tak suka saat orang lain memuji seperti itu. Dengan begitu, secara tak langsung mereka mengharap aku untuk mengenakan hijab. Sedang aku paling tak suka jika orang menuntutku ini dan itu. Biarlah masalah ini, tetap atas kesadaranku sendiri untuk memulainya. Bahwa kesadaran berhijab itu sesuatu yang aku mengerti tentang apa yang aku fikirkan dan menjalankan sesuai dengan keinginanku sendiri tanpa dorongan atau tuntutan dari manapun. Aku benci dituntut-tuntut. Memang aku terdakwa yang dituntut oleh JPU.
Huft.. aku menghela nafas kesal di depan cermin kamar mandi. Aku baru saja ganti baju dengan piyama dan bebersih diri sebelum tidur. Aku keluar dari kamar mandi. Mas Anda telah duduk di sisi tempat tidur tengah sibuk dengan ponselnya.
Aku berjalan ke arah tempat tidur dan berniat menaiki kasur. Aku sudah tak mood lagi untuk mendengar cerita alasan proyek Magelang dihentikan. Ingin langsung tidur saja lah.
Mas Anda menghentikan kesibukanya pada ponsel. Ia menepuk sisi sampingnya mengisyaratkan aku untuk duduk.
"Besok saja lah, mas. Aku ngantuk."
Aku bilang kan, kalau mood ku anjlok. Meskipun begitu terpaksa aku tetap mendudukan diri di sampingnya.
"Katanya pengen meringankan beban suami." Ucap Mas Anda sambil menepuk pundaknya sendiri. Kode agar aku memijitnya. "Tadi janji." Ingatnya.
"Ck, tapi bukan ini maksudnya, Mas!" Meskipun protes tanganku tetap bergerak memijit pundaknya. Bergeser ke kanan dan ke kiri.
"Geli Qi." Kali ini Mas Anda yang protes sambil kegelian saat aku menoel-noel tengkuknya. Rasakan!
Aku tetap memijit pada tengkuknya meski Mas Anda protes.
"Berhenti, Qi!" Mas Anda mencoba menghentikanku. Aku masa bodoh, malah semakin membuatku bersemangat menjailinya. Aku cekikikan.
Akhirnya Mas Anda meraih tanganku. "Berhenti nggak!" Ucapnya kesal. Tapi emang dasarnya aku yang seneng saat orang yang dijahili malah kesal, aku malah makin tertantang. Aku mencoba menggerakan tanganku yang ada di genggamanya.
Mas Anda akhirnya menarik tanganku ke depan. Peganganya lumayan kencang. Aku kesakitan. Seperti terpelanting, aku berakhir terduduk di pangkuan Mas Anda membelakanginya. Tanganya tetap memegangi tanganku erat-erat, di depan perutku, memelukku erat dari belakang. Seketika aku terdiam. Suasana berubah menjadi canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGABDI
AcakSetelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel terhadap suaminya. Seperti orang bilang : Jangan terlalu cinta nanti jadi benci. Jangan terlalu benci...