Penyintas pernikahan perjodohan. Mungkin itu istilah yang cocok bagi Ailani Aqilah saat ini.Menjadi istri seorang Karanda adalah jalan yang sudah dipilihnya sendiri tanpa paksaan dari bapak maupun ibunya.
Ia merasa bagai seorang istri yang berjuang sendiri menjaga agar rumah tangganya baik-baik saja meski tak memasukan kata cinta di dalamnya.
Ia akan buktikan. Toh jika nanti pada akhirnya usahanya berakhir tak sesuai rencana. Setidaknya semua ikhtiar dan doa serta harapan sudah ia coba dan tak akan ada kata sia-sia atas semua usahanya.
***
Memang kehidupan di kampung itu beda sekali dengan kota, tenang dan damai. Bebas bising. Itu yang selalu aku rindukan dari kampungku.
Sore begini tak ada yang lebih menyenangkan selain berburu semanggi dan memasaknya langsung. Aku sampai rela kakiku berkubang dalam lumpur.
Pas banget aku pulang sebelum musim semai padi berlangsung. Yang artinya semanggi sedang dalam masa panen. Oya semanggi ini tumbuh liar ya. Sebenarnya semanggi termasuk tumbuhan gulma jika padi mulai ditanam dan akan disemprot dengan pestisida untuk menghilangkanya. Makanya setelah padi dipanen semanggi tumbuh subur karena tidak ada penyemprotan pestisida.
"Mbah, ini terasinya segini?" Mbah Yayi mengangguk. Aku sedang membuat sambal untuk kluban semanggi. Mbah Yayi memperhatikanku sambil mengunyah kinangnya.
Tahu kan kinang yang dari daun sirih itu. Iya, budaya nginang merupakan salah satu budaya tradisonal Indonesia. Salah banyaknya para orang tua di desaku termasuk Mbah Yayi. Sudah sangat jarang orang mengkonsumsi kinang. Bukan komsumsi juga sih, cuma dikunyah-kunyah kalau sudah berwarna merah sewarna darah terus dilepeh. Katanya kalau tidak mengkonsumsi kinang rasanya hambar, seperti perokok yang tidak merokok setelah makan.
Daun sirih akan diracik dengan kapur sirih, sedikit gambir dan secuil buah pinang.
Ketika dulu aku mencoba rasanya getar. Artinya perpaduan antara rasa pahit, asem dan sedikit pedas. Aku langsung lepeh seketika. Aku tak terbiasa merasakan rasa yang menurutku awfull itu.
Aku mendadak pulang kampung sendiri. Sebuah keputusan impulsif setelah kemarin aku pergi meninggalkan Viana yang nyerocos sembarangan. Kupingku panas dan senewen sendiri. Mungkin efek horman perempuan yang sedang menstruasi hari pertama. Begitu sampai kamar, Mas Anda bertanya padaku tentang suara gaduh Viana yang ia dengar sebelumnya.
Aku tak menjawab dan lebih memilih ke kamar mandi untuk berwudhu dan siap-siap Shalat Maghrib. Kata pak Ustadz, wudhu bisa menyiram amarah seseorang. Makanya aku berharap setelah selesai berwudhu emosiku mereda.
Setelah berwudhu aku duduk di pinggir kasur sekalian nunggu adzan Maghrib tiba. Teringat kalau ternyata aku sedang mens hari pertama. Elah, aku penepuk jidat. Tapi tak apa-apa, setidaknya memang emosiku sedikit mereda.
Lagi enak-enak nunggu Maghrib. Tiba-tiba saja, entah mengapa aku kepikiran untuk menghubungi Mbah Yayi. Aku menelponya. Mbah Yayi tidak memakai ponsel. Tapi kalau anak-anaknya ataupun cucu-cucunya kangen untuk berbicara pada Mbah Yayi, bisa menghubungi Pak Lik Nor, adik Ibu yang paling bontot yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Mbah Yayi.
Setelah angkatan pertama yang diangkat Lik Nor aku menelpon lagi. Terdengar suara khas nenekku itu. Begitu Mbah Yayi menjawab pertanyaan mengenai kabar, aku impulsif langsung mengemasi pakaian ke dalam sebuah ransel dan memutuskan untuk pulang kampung. Tapi aku berniat tak memberi tahu Mas Anda karena masih kesal dengan Viana.
Entahlah, padahal rasa kesalku pada Viana tapi Mas Anda yang menjadi pelampiasan rasa kekesalanku itu. Memang Qila yang aneh.
Aku memutuskan pulang kampung esok paginya. Karena tak mungkin aku nekat pulang kampung malam-malam sedang Mas Anda standby di rumah sedang berkutat pada laptopnya di meja makan. Tumben-tumbenan malam Jum'at banget doi tidur di rumah. Aku juga sudah ijin sama Jonatan dengan alasan jenguk nenek di kampung.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENGABDI
RandomSetelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel terhadap suaminya. Seperti orang bilang : Jangan terlalu cinta nanti jadi benci. Jangan terlalu benci...