Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
📌Vote and coment, okey?
•
•
•
•
Waktu ke waktu, matahari kian bersembunyi di ufuk barat. Langit senja mulai berubah hitam dengan hiasan bintang-bintang yang bersinar terang. Di sebuah rumah sakit, seorang remaja tengah berbaring di atas hospital bed. Ventilator setia terpasang, membantu bertahan hidup. Di samping bed ada Jarvis yang terus memegang tangan sang kembaran. Hanya satu yang Jarvis harapkan, dia tidak ingin kehilangan Adiknya.
Jarvis hampir gila saat tidak merasakan hembusan napas dari kembarannya tadi siang. "Abang pikir, Abang kehilangan Adek," lirihnya.
Tadi siang, saat Jarvis tak merasakan hembusan napas dari Harvis, Mahen langsung merebut Harvis dari pelukan Jarvis dan berlari turun,membawa tubuh Harvis untuk mendapatkan pertolongan pertama. Mengharapkan Jarvis tidak ada gunanya, kembaran Harvis itu sudah seperti raga tanpa nyawa. Harvis yang terluka, maka Jarvis ikut terdampak.
Wajah Jarvis tidak bisa berbohong. Kantung matanya mulai tercetak jelas, tatapan sayu itu seolah tak ada binar apa pun di sana, bahkan Jarvis tak menyentuh nasi Padang yang dibeli Naresh untuknya. Yang dilakukan Jarvis hanya terus menggenggam tangan Harvis. Terkadang juga, dia mengusap kepala sang kembaran, memainkan rambut kembarannya seraya tersenyum kecil. Kemudian, terisak.
"Adek kapan bangun? Abang nungguin Adek di sini. Ayo bangun...Abang gak sanggup menghadap Bunda sama Ayah sekarang kalau Adek gak bangun." Jarvis terus mengajak kembarannya berbicara. Jarvis pernah mendengar satu hal kalau orang koma sebenarnya mendengarkan ucapan orang lain kepadanya.
Dan Jarvis berharap, Harvis tak sendirian. Dirinya ingin kalau kembarannya itu akan menemukan jalan kembali hanya dengan mendengar suaranya.
Jarvis tak menoleh sedikit pun saat pintu ruang inap terbuka. Dirinya tak bergeming saat Naresh dan Eza menepuk pundaknya dan meletakkan cup eskrim di meja nakas.
Helaan napas terdengar dari Naresh saat bungkusan nasi Padang yang dia beli untuk Jarvis masih terlihat apik di tempatnya. Tak berubah sedikit pun.
"Jarvis, mau gue suapi?" tanya Naresh sambil menolehkan wajah Jarvis ke arahnya.
Naresh tersenyum sendu saat Jarvis hanya menatapnya dan menggeleng. "Lo harus makan, gue yakin, buntelan coklat pasti bakal ngamuk kalo lo gak jaga kesehatan. Makan, ya biar gue suapi." Jarvis hendak menolaknya. Namun, Naresh menarik dirinya untuk duduk di sofa di ujung ruangan.
"Na. Biarin gue tetap di sini, gue gak mau ninggalin Adek gue. Gue harus di sampingnya. Please...Na."
Naresh menatap Eza saat mendengar permintaan Jarvis. Remaja itu tersenyum dan mengangguk. "Yaudah, tapi lo harus makan. Gue suapi. Gak ada penolakan. Please...." Mau tak mau Jarvis mengangguk.