9. Naufal 2

37 7 5
                                    

Happy Reading😍Jangan lupa vote ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading😍
Jangan lupa vote ya... 😘

***

POV NAUFAL 2

***
Keputusanku untuk mengkhitbahnya telah bulat. Aku tak mau ada orang lain yang memilikinya selain diriku, Maira.

Apakah Aku terlalu berambisi? Ah, tentu tidak. Aku hanya takut, takut jika ada orang lain yang lebih dulu mengkhitbahnya.

Jujur Aku cemburu saat malam itu Maira berkomunikasi pada Gus Hamam. Entah, apa yang di obrolkan mereka, tapi sorot mata Gus Hamam sebuah tatapan penuh cinta.

Tuhan, jika. Memang Maira jodohku mudahkanlah niat baikku untuk menghalalkan gadisku, Mairaku.

***
Pagi itu Aku tak sengaja melihat  Maira saat berangkat kuliah, dia bersama Nur. Ah, mereka berdua bagai perangko dari dulu selalu bersama.
Kukendarai motor matic yang khususkan untuk pengurus pondok dan para ustazah jika ada keperluan untuk keluar.

Kulajukan motor matic dengan kecepatan sedang karena jarak tempuh pondok dari kampus memanglah dekat. Tak butuh waktu lama kini aku berhenti di depan Maira dan Nur.

Sepertinya mereka asyik mengobrol terlihat dari mimik wajah mereka yang terlihat sumringah. Mereka berhenti kala melihat diriku.

Kumatikan mesin motor matic, ku buka helm warna hitam  merek  INK yang kupakai. Ya, aku memang sengaja pakai helm untuk memberikan surprise padanya.

Aku mulai melangkahkan kaki menghampiri mereka berdua dengan senyuman. Sepertinya Dia syok, terlihat dari raut wajahnya yang bengong. Ah, sungguh menggemaskan wajah polosnya yang seperti itu.

Aku siap menerima konsekuensinya jika nantinya ternyata dia telah lebih dulu di khitbah oleh orang lain. Aku hanya menebak saja jika saat ini Maira masih sendiri. Ah, aku terlalu percaya diri. Mungkin ...

Jangan tanya bagaimana rasa hati ini. Sungguh sebenernya sangat berdebar-debar. Ini pertama kalinya Aku bertatap muka dengannya, Maira.

"Assalamualaikum," sapaku
"Wa'alaikum salam, Kak. Eh, Ustaz," jawabnya Kikuk. Nur pun menjawab salam.

"Gimana Kabarnya, Mai," tanyaku

"Alhamdulillah baik, Ustaz sendiri gimana kabarnya?"

"Ustaz? biasanya kak," jawabku sambil mengernyitkan dahi.

"Kabarku buruk Mai, selama empat tahun ini. Karena Aku selalu merindukan seseorang yang membuat tidurku tak nyenyak, makan pun tak enak," sambungku.

"Aku ke kampus dulu ya kalau gitu," cicit  Nur tiba-tiba.

"Jangan,"
"Jangan,"

Aku dan Maira menjawab bersamaan.

"Kalau kamu pergi nanti akan menimbulkan fitnah Nur? aku ndak mau itu," ucap Maira memohon.

"Iya, Nur," sambungku lagi.

"Yaudah deh, Ustaz mau ngomong apa sama Maira? buruan dong tujuh  menit lagi masuk nih," tegur Nur.

Aku menghirup nafas dalam-dalam dan di hempaskan berlahan. Mencoba menetralkan degupan jantung yang berdetak lebih cepat.

"Ekhem" Aku berdehem. Maira menatapku sekilas, lalu menunduk.

"Maira, Aku ingin mengkhitbahmu," jelasku.

Seketika Maira mendongak menatap kedua mataku dengan intens.

"Selama empat tahun ini rasa ini masih sama Maira. Aku selalu merindukanmu dan namamu selalu kusebut di sepertiga malamku. Alhamdulillah takdir tuhan mempertemukan kita kembali. Itu artinya kita berjodoh Maira," ungkapku meyakinkan.

Hening!

"Maira, ambilah cincin ini sebagai pengikatnya jika kamu siap, aku akan segera kerumahmu untuk bertemu kepada orang tuamu," Aku menyodorkan kotak segiempat berukuran kecil warna maroon yang telah kubuka. Terdapat cincin perak dengan ukiran yang cantik.
Ya, saat perjalanan Jogja - Ngawi Aku membelinya khusus untuknya, Maira.

Maira menoleh ke arah Nur yang dari tadi sibuk dengan gawainya. Nur pun tersenyum padanya dan mengangguk. Apakah Dia meragukan ketulusan cintaku? Ah, Aku hanya berharap semoga Dia mau menerima cincin yang sederhana ini. Semoga dia masih menjaga cinta selama empat tahun ini.

Akhirnya Dia pun meraih benda kotak berwarna maroon itu dengan senyum penuh kebahagiaan. Menampakan gigi gingsulnya. Ah, senyuman itu yang selalu Aku rindukan.

"Terimakasih, Maira. Secepatnya aku akan datang kerumahmu," ungkapku penuh dengan penuh kebahagiaan.

Dia mengangguk dan menggenggam kotak segiempat berwarna maroon itu.

Dia pamit masuk ke dalam kampus karena waktu sudah menunjukkan jam mata kuliah pertama akan segera di mulai.

"Kalau begitu aku masuk dulu ya Kak, Assalamualaikum," pamitnya.

"Wa'alaikum salam," jawabku.

Syukur Alhamdulillah tak henti-hentinya ku rapatkan dalam bibir ini.
Tuhan, terimakasih atas semua nikmat yang telah Kau berikan pada hambanya yang hina ini. Terimakasih atas takdirMU mempertemukan cintaku kembali, Maira.

***
Bersambung ...

Lentera Hati MairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang