11. Gejolak Rasa

40 6 4
                                    

Assalamualaikum... 🥰
Mbak maira datang kembali 😁.
Happy Reading 😘

*Maira Wardatul Jannah*

***
Ada hal-hal yang tidak ingin terjadi padaku tetapi harus kuterima, hal-hal yang tidak ingin kutahui tetapi harus kupelajari, seperti halnya bagaimana caranya menyembuhkan luka hati ini. Jika aku pernah perpikir bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya nyatanya kini harus aku lepaskan. Melepaskan untuk menciptakan ruang baru agar lebih baik.

***

Saat aku kembali ke asrama aku bergegas mencari sapu tangan itu sebelum waktu dhuhur tiba. Untung kamar asrama sepi karena penghuninya masih kuliah, termasuk Nur.

Aku mencari di setiap sudut kamar ini, menyingkap kasur lantai. Dan hal itu kuulang berkali-kali. Namun, tak kunjung kutemukan sapu tangan itu. Ah, mampus ini. Bahagaimana aku bisa teledor seperti ini. Pikiranku mulai berkelana memikirkan hal yang negatif.

"Mai," sapa Nur.
Ah, dia membuatku terkejut. Aku pun menoleh ke arahnya. Dia masih berdiri di ambang pintu.

"Sampean sudah sehat kan? Duh, Ya Allah Mai, khawatir banget Aku," cercahnya berjalan mendekat lalu memelukku. Aku pun membalasnya.

"Alhamdulillah Nur, Aku sudah sehat," Nur mengurai pelukannya.

Kami pun duduk lesehan tiba-tiba Nur menyodorkan sesuatu yang telah kucari, sapu tangan. Secepat kilat Aku meraihnya dan menjelaskan semuanya pada Nur. Bagaimana sapu tangan Gus Hamam ada di kamar asrama ini.

"Untung Aku yang menemukannya Mai, coba orang lain yang menemukan sapu tangan itu, wah bisa gempar asrama putri ini, Mai?" ungkap Nur.

Nur menjelaskan bahwa sapu tangan ini jatuh ketika aku bangun untuk melaksanakan salat tahajud kala itu. Aku bernapas lega seenggaknya sapu tangan ini tidak hilang.

"Ehem, sepertinaya Guse menaruh hati pada sampean, Mai," ucap Nur.

"Wis Ah, malah bahas Guse," elakku

Kenapa Nur juga beranggapan sama seperti Mbak Mila? Mungkinkah itu benar? Ah, entahlah ...

***

Waktu cepat berlalu kini aku memulai aktivitasku sebagaimana mestinya, mencoba melupakan segala duka lara dalam hati ini. Pasrah akan takdir Tuhan yang membawa hati ini akan berlabuh pada orang yang tepat.

Saat ini aku fokus pada kuliah dan ngaji. Aku tak perduli jika ada teman kuliah yang menyatakan perasaannya kepadaku. Aku bukannya tidak bisa move on, melainkan hanya ingin menjaga hati dari maksiat. Aku tidak ingin patah hati ini terulang kembali.

Cincin itu akan aku kembalikan pada Kak Naufal karena aku sudah tidak berhak atas itu. Walaupun itu di berikan kepadaku tapi aku tidak ingin menyimpannya. Cukuplah Kisah cinta ini yang menjadi kenangan tanpa harus meninggalkan secuil barang yang bisa membuka luka lama tertoreh kembali.

Lusa adalah hari pernikahan Kak Naufal dan Ning Hasna. Aku ingin menitipkan barang itu pada Gus Hamam. Ya, mungkin itu lebih baik. Tanpa harus datang di pernikahan mantan tunangan. Oh tuhan? Sungguh miris nasib percintaanku. Ah, sudahlah inilah takdir. Terkadang apa yang kita dapatkan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk hambaNya.

Saat ini aku membantu Ummi Ma'summah membungkus kado untuk Ning Hasna, keponakan beliau. Kami duduk lesehan di ruang tamu. Bukan aku saja, melainkan juga Mbak Mila dan yang lain sepertinya sudah kembali ke asrama. Karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Mai, sampean wis semester piro? tanya beliau.

"Semester empat, Ummi," jawabku sambil sibuk menggunting kertas kado.

"Kalo sampean, Mil, wis skirpsi to?"

"Sampun, Ummi, pandungane Ummi,"

Saat kami asyik ngobrol sama Ummi tiba-tiba Gus Hamam datang bersama Abah Kyai yang baru pulang ngisi kajian di desa sebelah.

Gus Hamam mengucap salam, kami pun menjawabnya. Tetiba tatapan kami bertemu beberapa detik. Aku menunduk, malu tatkala ingat kejadian tempo lalu. Ah, bodohnya diriku yang tiap menangis selalu dipergoki oleh Gus Hamam.

***

Pagi ini tekatku sudah bulat, Aku ingin menemui Gus Hamam tapi bagaimana Aku menyerahkan kotak ini pada beliau.

Jika biasanya pagi ini Aku dan Mbak Mila di sibukkan dengan peralatan dapur tapi tidak dengan hari ini. Karena keluarga ndalem akan berangkat ke Jogja pagi-pagi sekali. Aku pun bersantai di kamar sambil baca kitab.

"Mai, di timbali Ummi, di suruh ke ndalem sekarang," ujar Mbak Nina saat dia membuka pintu kamar asrama.

"Lho Mbak, Ono opo?

"Embuh Mai, gak ngerti. Wis ndang ayo," ajaknya. Aku pun bergegas mengikuti Mbak Nina ke Ndalem tak lupa Aku membawa kotak kecil yang ku bungkus kertas kado itu kumasukkan saku rok. Siapa tahu aku ada kesempatan untuk menitipkan itu ke Guse.

"Mai, Melu ke Jogja yo?" titah Ummi saat Aku sudah sampai Ndalem tepat di ruang tengah. Mbak Nina pun melanjutkan menyapunya di halaman ndalem.

Aku bingung harus menjawab apa, bagaimana mungkin aku menghadiri pernikahan laki-laki yang pernah mengisi hatiku. Bahkan aku selalu berusaha untuk melupakannya. Tuhan ... Apa yang harus aku lakukan?.

***
Bersambung ...

Lentera Hati MairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang