18. Dilema

51 7 8
                                    

❤❤❤"Kita tak pernah tahu akan jalan takdir Tuhan yang telah ditetapkan pada manusia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❤❤❤
"Kita tak pernah tahu akan jalan takdir Tuhan yang telah ditetapkan pada manusia. Namun, percayalah takdir Tuhan lebih indah dari pada semua harapanmu."

***
Semburat jingga menghiasi langit tampak indah dan menawan. Aku duduk di teras rumah sambil asyik dengan gawaiku. Beberapa kali mengirim pesan pada Nur. Namun, masih centang satu. Karena biasanya hape akan diaktifkan setelah kegiatan Madrasah Diniyah telah usai.

"Bang, mau kemana, ikut," ucapku saat Bang Yusuf keluar rumah tampak buru-buru menaiki motor scopy.

"Mau beli paketan," jawabnya.

"Ikut," secepat kilat aku lari kearahnya langsung duduk di jok belakang.

Tanpa penolakan Bang Yusuf pun melajukan kendaraan roda dua menyusuri jalanan menuju konter. Kurang lebih sepuluh menit kami telah sampai tujuan.

Di sebrang jalan terpampang jelas warung bakso dan mie ayam. Aku menoleh jam tangan menunjukkan pukul empat sore. "Masih ada waktu untuk makan bakso sebelum maghrib," gumamku. Aku duduk di kursi yang di sediakan oleh pemilik konter sambil menunggu Bang Yusuf selesai.

"Bang, mampir ke sana yuk? Udah lama kita ndak makan bakso bareng," rengekku sambil jari telunjukku mengarah pada warung Bakro di seberang jalan.

"Dasar manja, ayok,"

"Asyik!" ucapku kegirangan.

Abangku memang nyebelin tapi dia selalu menuruti semua keinginanku. Sejak dulu Sampai sekarang tidak pernah berubah. My brother is the best. Usianya sudah dua puluh lima tahun selisih tiga tahun dengan diriku. Sekat jarak yang tidak jauh inilah yang membuatku sangat dekat dengan Bang Yusuf. Dia tempat keluh kesahku. Entahlah ... Kenapa juga belum menikah. Tidak laku kali ya, Ups.

Tak butuh waktu lama dua mangkok bakso siap untuk dinikmati. Disela-sela makan bakso aku mencoba mencari tahu tentang siapa orang yang menghitbahku pada Bang Yusuf.

"Bang, tahu ndak, siapa laki-laki yang menghitbahku,"

"Ndak," jawabnya santai dengan mengunyah pentol.

"Masa sih, Bang," selidikiku

"Iya, Dek," jawabnya lagi tanpa melihatku.

Aku menghela napas dalam lalu membuangnya perlahan. "Percuma tanya Abang, sepertinya mereka semua sekongkol,"

***
Pagi hari Ibuk sudah sibuk berkutat di dapur. Menyiapkan untuk hidangan tamu yang akan berkunjung nanti. Calon mantu katanya. Kalau aku menolak? Ah, sungguh semua sepertinya sudah direncanakan dengan masak-masak. Hanya diriku lah yang tidak tahu apa-apa.

Setelah semua siap beserta buah-buahan yang bertengger di atas meja. Aku bersiap-siap untuk membersihkan diri setelah membantu Ibuk di dapur tadi.

Setelan gamis warna pink-tua membalut tubuhku lalu kupadupandakan dengan hijab warna senada. Duduk termangu di depan cermin meja riasku.

Tuhan ... Apa yang harus aku lakukan nanti? Bolehkan seorang wanita menolak khitbah seorang laki-laki? Ah, sungguh semua ini membuatku dilema. Jujur saja setelah cintaku kandas begitu saja dengan Kak Naufal, aku tak ingin lagi memikirkan soal cinta. Tujuanku fokus belajar, belajar dan belajar. Bukan diri ini tak bisa move on, hanya saja trauma akan luka hati yang mendalam.

"Nduk," panggil Ibuk membuyarkan lamunanku. Tiba-tiba saja ibuk berdiri di sampingku mengusap pundakku.

"Buk," lirihku menoleh ke arah beliau dan memegang tangannya.

"Kok malah ngelamun, kenapa? Ndak usah mikir aneh-aneh. Ibuk dan Ayah tidak memaksa Sampean untuk menerima khitbah itu," jelasnya.

Aku diam bergeming, mengela napas panjang, Huft. Rasanya hatiku risau. Sungguh sangat tak karuan.

"Ayuk keluar, mereka sudah datang," lirih Ibu.

"Bismillahirrahmanirrahim, ya Nduk. Tenang, ndak usah grogi," nasihat Ibuk. Aku pun berdiri memeluk beliau. Sungguh pelukan Ibuk membuatku nyaman.

Dengan langkah pelan ibuk mengiringku ke ruang tamu. Dag dig dug detak jantungku yang berderak lebih cepat.
Aku menunduk, rasanya tak ingin menatap wajah mereka semua.

Betapa terkejutnya aku saat mendongakkan kepala ternyata ada Ummi ma'summah dan juga Abah Yai Khalid.
Guse? Ah, bukan. Itu bukan Guse. Tapi Kang Yusron.

Aku mencium punggung tangan Ummi Ma'summah dengan ta'dzim. Lalu menangkupkan kedua tangan ke dada dan menganggukkan kepala Abah Yai Khalid juga Kang Yusron. Kemudian aku duduk di samping Ibuk.

"MasyaAllah, ayune Nduk, Sampean?" ucap Ummi Ma'summah. Aku hanya tersenyum samar. Kepalaku dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Kenapa Ummi ada di sini? Abah Yai juga kelihatan akrab sekali dengan Ayah.

"Jadi Abah Yai Khalid ini beberapa kali telah mengisi kajian di MI tempat Ayah ngabdi, Nduk. Pernah mampir ke sini juga," ungkapnya seolah Ayah tahu akan kebingunganku. Lagi dan lagi aku hanya menanggapi dengan senyuman.

"Jadi, piye Nduk, opo Sampean menerima khitbahnya?" tanya Ummi Ma'summah dengan sumringah.

Jadi yang mengkhitbahku adalah kang Yusron? Allah ... Drama apa lagi ini? Bukankah selama ini Kang Yusron mencintai Mbak Mila, kenapa malah mengkhitbahku. Dan Kang Yusron terlihat begitu santainya dengan menyunggingkan senyuman ke arahku. Tenggorokanku tercekat, bibir ini tak mampu menjawab pertanyaan Ummi.

Aku menatap Ibuk lalu beralih ke Ayah. Bang Yusuf entah dimana dia berada, aku baru menyadari jika Bang Yusuf tidak ada. Aura bahagia terpancar di wajah orangtuaku. Allah ... Apakah mereka menginginkan aku menerima khitbahnya?

***
Bersambung ...

Lentera Hati MairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang