5. Surat

48 11 4
                                    

❤❤❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❤❤❤

"Kau yang terbaik, juga terburuk. Kau yang mengajari arti patah hati. Kau beri harap, lalu kau pergi. Garis waktu takkan mampu menghapusmu." - Fiersa Besari -

***

Seminggu setelah peristiwa tersebut Aku tak pernah sekalipun bertemu dengan Kak Nuafal. Kepergiannya bak di telan bumi, dia datang tiba-tiba dan berkata ingin mengkhitbahku, sekarang  pergi entah kemana. Mungkinkah dia sudah menerima perjodohan itu? sehingga dia berusaha menghindariku?

Satu fakta yang membuatku tercengang. Bahwa kak Naufal dulu kuliah di Jogja dan mondok sekaligus jadi abdi ndalem di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin milik Kiayi Dahlan dan istrinya Bu Nyai Marhamah.

Itulah sebabnya perjodohan itu terjadi karena Ning Hasna putri bungsu dari Kyai Dahlan mencintai Kak Naufal.
Hal itu aku ketahui dari ummi Ma'sumah langsung saat Aku dan Mbak Mila masak sore tadi untuk makan malam keluarga ndalem. Kebetulan Ummi ikut serta membantu menyiapkan sayurnya.

"Hasna ponakkanku nek atine karep kudu di turuti, gak iso di penggak,'' ucap Umi tiba-tiba.

"Maksudnya, Ummi," tanya Mbak Mila.

Aku diam tak menanggapi karena seminggu ini rasanya hidupku tak bergairah, aku lebih banyak diam. Berbicara hanya seperlunya saja.

"Lha iku wingi Kyai Dahlan datang mrene matur arepe njodohno Hasna Karo Naufal, padahal lagek wae Naufal  pindah mrene," tutur Ummi.

Ummi pun menceritakan semuanya tentang kronologi perjodohan Kak Naufal dan Ning Hasna. Mbak Mila mendengarkan dengan antusias.

Aku? Jangan tanya diriku. Rasanya ingin berlari jauh, sejauh-jauhnya. Namun, apa daya hal itu tak mungkin aku lakukan. Karena itu tidak sopan.
Apa kabar hatiku? Jangan tanya. Karena itu terlalu menyakitkan untuk diungkapkan.

***
Seperti biasa Aku menceritakan semua pada sahabatku, siapa lagi kalau bukan Nur. Dia lah tempatku berkeluh kesah mencurahkan beban luka yang memenjara jiwa.Hanya dua kata  yang dia katakan "sabar dan ikhlas" apakah kata itu kata pamungkas? mungkinkah aku mampu menerima semuanya, sedangkan di hati ini sudah terukir namanya sejak empat tahun yang lalu.

Dia memelukku dan mengusap-usap punggungku. untuk kesekian kalinya aku seperti ini. Entahlah, rasanya susah mengenyahkan semua rasa di hati ini.

"Mai, ada titipan surat untukmu," ucap Nur melapaskan pelukannya. Aku pun mengurai pelukan Nur mengusap air mata yang membasahi pipi ini.

"Dari siapa?" tanyaku dengan suara serak.

Nur tidak menjawab malah beringsut berdiri mengambil amplop putih di dalam tasnya lalu ia sodorkan kepadaku.

"Ambil lah, nanti kamu juga tahu ini dari siapa," jawabnya sambil tersenyum meyakinkan.

Aku pun mengambil surat itu dari tangan Nur. Aku penasaran tapi tidak langsung Aku buka karena takut ketahuan pengurus pondok. Kubolak balikan amplop putih itu kemudian kumasukkan ke dalam saku gamis yang kupakai.

***

Perlahan Aku buka amplop kecil polos itu. Aku sengaja keluar kamar saat semua santri telah terlelap.

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. WB.

Kau yang selalu kuminta pada sang Khalik.
Kau yang selalu kusebut di setiap doa-doaku.
Doa kita bahkan saling memohon pada yang Kuasa agar cinta kita bersatu.
Kau jadi bidadariku dan Aku jadi imammu.
Namun, apa dayaku ketika takdir tak mempersatukan kita. Maira Wardatul Jannah, maafkan Aku yang tak bisa memperjuangkan cinta kita.

Bahkan Aku mengingkari janjiku untuk datang ke rumahmu dan mengkhitbahmu.
Aku hanya seorang santri yang tak mampu menolak permintaan Abah Kyai Dahlan, dengan terpaksa Aku menerima perjodohan untuk menikahi putri beliu, Ning Hasna.
Maafkan Aku Maira , Maafkan semua kesalahanku.

Terimakasih sudah pernah mengisi hatiku selama empat tahun lamanya. Bahkan Sampai detik ini Aku tak mampu mengeluarkan nama itu dari sudut hatiku.
Aku akan mencoba ikhlas akan takdir Tuhan walaupun semua terasa berat.
Maira Wardatul Jannah, berjanjilah padaku, kau akan selalu hidup bahagia. Percayalah takdir Tuhan lebih baik untuk hamba-Nya.
Terima kasih untuk semuanya.
Maafkan aku.

*Ahmad Naufal Haq*

💔💔💔

Aku meremas kertas putih itu, airmataku luruh membasahi pipi chubby, Aku duduk di serambi mushola. Semilir angin malam seakan memeluk ragaku. Namun, bukan dingin yang kurasakan tapi sakit di dada ini yang membuatku susah untuk bernafas.
Suasana sepi, sesekali suara jangkrik terdengar bergantian dengan tangisku yang tergugu.

Waktu menunjukkan pukul 23:50 WIB. Di bawah langit malam ditemani bintang dan bulan yang terlihat bulat sempurna inilah akhir kisah perjalanan cintaku bersama Kak Naufal. Aku berusaha mengusap air mata yang membasahi pipi ini, mengucapkan istighfar berharap air mata berhenti. Namun, apa yang terjadi? Air mata semakin deras bak aliran sungai. Aku menutup wajah dengan kedua tangan, aku pun kembali tergugu.

"Mbak Maira, ngapain malam-malam begini di sini, ndak tidur? selidiknya.

"Aku terperangah," saat kumembuka tangan, ternyata  Gus Hamam berdiri di depanku sekitar jarak kurang lebih satu meter. Lagi-lagi Dia yang mempergoki aku menangis.

Aku mengusap air mata dan secepat kilat  berdiri. Rasanya tidak sopan jika aku duduk dan beliau berdiri. Namun, saat berdiri kertas putih yang kuremas tak  terbentuk jatuh menggelinding di depannya.

Tepat di bawah kakinya. Ingin kuambil, tapi apalah daya tangannya lebih cepat memungut kertas itu. Tatapan kami bertemu, beliau mengerutkan dahinya seakan penuh tanya. Aku menunduk dan memilin ujung hijab segi empat warna pink yang kupakai  saat jari jemari beliau berlahan membuka  kertas itu.

Hening!!

"Jadi karena surat ini kamu menangis seperti ini?" ungkapnya dengan memicingkan mata.

Aku tak mampu menjawab tenggorokanku seakan tercekat tak mampu bersuara. Aku hanya mengangguk tanpa memperhatikannya.

💔
Bersambung ...

Lentera Hati MairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang