12. Pernikahan

50 6 6
                                    

Assalamualaikum🥰Kembali lagi bersama Maira😁Selamat membaca dan selamat malam😘😘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Assalamualaikum🥰
Kembali lagi bersama Maira😁
Selamat membaca dan selamat malam
😘😘

***
 "Jangan terlalu berharap sebab kadang kita hanya ditakdirkan untuk bertemu, kenal dan berkawan saja. Tak semestinya itu jodoh kita, sekalipun rasa cinta itu ada.

***

"Mi, kenapa ndak Mbak Mila saja yang menemani Ummi? biasanya kemana-mana sama Dia," ucap Gus Hamam yang tiba-tiba keluar dari kamarnya.

Mungkinkah dia mendengarnya tadi?
Aku melirik Gus Hamam sekilas lalu kembali menunduk. Beliau duduk di sebelah Ummi dan memainkan gawainya. Sedangkan ummi menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Jogja nanti.

"Mila nanti ada bimbingan skripsi, jadi ndak bisa izin. Kalau Maira kan bisa izin sehari saja. Ya, to Nduk?"

Aduh, bagaimana ini. Siapa saja tolong bawa aku pergi dari sini. Rasanya hatiku tak sanggup menghadiri pernikahan Kak Naufal. Jujur saja, masih ada setitik rasa dalam lubuk hati ini. Kutak sanggup, sungguh? Mendengar kabar pernikahannya saja membuat hatiku ngilu. Apalagi menyaksikannya?

"Wis, Nduk ndang siap-siap,"

Belum juga aku menjawab pernyataan Ummi yang pertama kini beliau kembali bertitah. Ah, andai aku bisa menolak, Gusti ... Kuatkan hati hamba.
Sepertinya Gus Hamam melihat kegusaranku, akan tetapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya menatapku sekilas saat aku melenggang pergi.

"Nggih, Ummi," jawabku terbata dan pamit undur diri ke asrama untuk siap-siap.

***
Aku menghela nafas berat. Tiba-tiba kenangan indah bersama Kak Nuafal kembali berputar dalam ingatan tanpa diminta. Kenangan saat kami masih memakai seragam putih abu-abu dan kertas origami menjadi saksi bahwa kita saling memiliki rasa cinta dalam diam.

Ah, seharusnya aku tidak datang sebagai tamu, melainkan sebagai ratunya dan bersanding dengannya. Namaku yang dulu selalu diebut dalam doa-doanya, nyatanya tidak dengan ijabnya. Allah ya Robb, kuatkan hati ini.

Di perjalanan menuju Jogja pandanganku mengarah pada sisi jendela. Menikmati apa saja yang dilewati oleh mobil yang kami kendarai.
Aku dan Ummi Ma'summah duduk di jok belakang, Abah Yai duduk di depan dan Gus Hamam lah yang mengemudi. Kami berangkat kurang lebih jam tujuh dari pondok.

Mobil berhenti di rest area untuk sarapan. Kami menikmati nasi pecel di kedai yang tersedia. Nasi pecel yang terlihat enak terasa hambar begitu masuk ke dalam mulutku, sedikitpun tak ada nafsu makan. Tak perlu banyak waktu setelah kurang lebih tiga puluh menit kami kembali melanjutkan perjalanan ke Jogja.

Waktu cepat berlalu tak terasa mobil yang kami tumpangi telah mengikis jarak hingga terdengar sound sistem yang menggema di setiap laju mobil yang semakin dekat dengan kediaman Ning Hasna. Di saat itu pun detak jantungku berpacu lebih cepat dan Napasku kian memburu terasa ada yang akan meledak dalam hati ini.  Batinku menjerit, hatiku hancur.

Kalimat istighfar tak henti-hentinya aku lantunkan. Mencoba menetralkan gejolak rasa sakit ini. Allah, seharusnya aku tidak di sini. Napasku terasa sesak karena rasa sakit semakin menghimpit rongga dadaku. Sekuat tenaga  aku menahan agar air mata tak menetes dari muaranya.

Setelah mobil berhenti di area  parkir dengan langkah berat kaki ini keluar dari mobil.

"Sepertinya aku harus mencari alasan agar tidak ikut masuk ke rumah Ning Hasna," batinku.

Sebuah tenda pernikahan yang terlihat megah sekali dengan hiasan dekorasi  warna biru muda yang membuat tampak elegan. Banyak para tamu undangan yang berlalu lalang memenuhi deretan kursi yang telah disediakan.

"Ummi, Aku ingin ke kamar mandi sebentar, ya?" ungkapku menunduk.

Tiba-tiba Kalimat itu terlontar begitu saja, bahkan aku tidak tahu letak kamar mandinya dimana.

"Oh, Mbak Maira mau ke kamar mandi? di samping mushola sana ada kamar mandi, Mbak," jawab Gus Hamam cepat sebelum Ummi menjawab.

"Ummi dan Abah masuk duluan pasti sudah di tunggu sama Pak Lek Dahlan, Aku juga mau ke kamar mandi dulu Mi, Bi," sambungnya.

"Ya wes, Ojo suwi-suwi lo,"

"Nggeh Um," jawab Gus Hamam.
Aku hanya mengangguk.

Ummi dan Abah Yai  pun melenggang, kini tinggal Aku dan Gus Hamam yang masih berdiri di samping mobil. Aku diam dan menunduk  rasanya ingin lari sejauh mungkin dari tempat ini. Sungguh, di dalam dada ini rasanya sakit sekali bagai di tusuk-tusuk seribu pedang.

"Mbak Mai, katanya mau ke kamar mandi, kok masih di sini?" tanyanya.

Aku hanya menggeleng, tak terasa air mata ini luruh membasahi pipi bak aliran sungai yang mengalir deras. Gusti... Beginikah rasanya, ketika kita berharap bahwa kita bersanding dengan orang yang kita cintai nyatanya cinta itu harus pupus begitu saja.

Bagaimana aku bisa baik-baik saja jika akhir kisah cintaku dengan Kak Naufal berakhir bukan karena kesalahan. Kita berpisah tapi masih dengan rasa yang sama. Masih ada cinta di antara kita berdua. Dan kita dipaksa harus melepas cinta itu untuk menyambut cinta yang baru.

Gus Hamam menghela nafas kasar, beliau masih setia berdiri di depanku dengan jarak kurang lebih satu meter. Kami sama-sama diam untuk beberapa saat. Jika tidak berdosa ingin ku menghambur ke pelukannya melepaskan semua rasa sesak dalam dada ini.

"Gus," ucapku memecah keheningan sambil megusap pipiku dengan kedua telapak tangan.

Kami saling bertatapan untuk seperkian detik. Tatapan iba terpancar dari sorot matanya. Bagaimana tidak? Gus Hamam tahu akan Kisha cintaku dari surat yang dia bawa tempo lalu. Entah buat apa surat itu ia bawa.

"Boleh titip ini untuk Ustaz Naufal?" ucapku sambil mengambil kotak kecil yang terbungkus kertas kado di dalam tas selempangku lalu menyodorkan ke arahnya.

"Mbak Maira, aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Sampean  terluka. Tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan.  Sampean datang ke sini, tunjukkan bahwa Sampean sudah ikhlas menerima takdir yang telah Allah tetapkan. Bukankah isi surat Naufal itu tertulis bahwa sampean  juga harus bahagia?"

Ucapan Gus Hamam yang ingin menghiburku justru membuat tangisku kembali tergugu. Aku menunduk membekap mulutku dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan masih memegang kotak kecil itu karena Gus Hamam tak mau mengambilnya.

"Mbak Maira? Bolehkah aku membahagiakan sampean?"

***
TBC

Lentera Hati MairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang