19. Lamaran

54 7 11
                                    

"Assalamualaikum ... Ngapunten Bah, Um, Kulo terlambat?" ucap seseorang yang datang membuyarkan lamunanku. Gus Hamam. Disusul Bang Yusuf di belakangnya.

Kami yang ada di ruang tamu menjawab salam bersamaan. Aku mengernyitkan dahi. Menatap Gus Hamam yang masih berdiri dan bergeming begitupun Bang Yusuf. Mereka berdua lalu berjalan menyalami semua orang yang ada di sini tatapanku masih belum teralihkan pada sosok Gus Hamam, hingga sebuah jari menjitak pelipis kiriku. Siapa lagi kalau bukan Bang Yusuf.

"Aduh," sepontan aku berkedip, menoleh Bang Yusuf yang duduk di sisi kiriku. Aku pun mengusap-usap pelipisku yang terasa panas.

"Belum halal, jaga pandangan, Dek," ungkapnya. Aku membulatkan mata menatap Bang Yusuf. Sungguh sangat memalukan.  Dan yang membuat semakin malu adalah mereka semua menertawakan diriku. Gus Hamam duduk di samping Kang Yusron tepat berhadapan dengan Bang Yusuf.

"Jadi piye Nduk, Maira. Tadi durung di jawab Lo," ungkap Ummi Ma'summah lagi.

"Nduk, kok malah bengong," bisik Ibuk.

Aku terkesiap. Sungguh, aku bingung dibuatnya dengan semua ini.

"Apa sampean menerima Khitbahku, Mbak Maira?" tanya Gus Hamam.

Apa? Jadi yang mengkhitbahku Gus Hamam. Bukan Kang Yusron?.
Allah ... Apa yang sebenarnya terjadi ini? Sungguh aku seperti dipermainkan.

"Pasti sampean kira yang mengkhitbahmu kang Yusron ya?" sambungnya.

Seolah tahu atas kebingunganku Gus Hamam kembali menjelaskan panjang kali lebar. Sebelum berangkat kesini Gus Hamam mampir  ke toko bukunya karena ada masalah yang perlu di selesaikan di sana. Dia mengendarai sepeda motor lalu Abah Yai Khalid dan Ummi Ma'summah naik mobil yang di kemudi oleh Kang Yusron. Terungkap sudah semua kebingunganku.

"Tapi aku hanya santri biasa Gus, bukan seorang Ning. Aku merasa ndak pantas bersanding dengan Njenengan" lirihku sambil menunduk. Ibu menggenggam kedua tanganku dalam pangkuan.

"Itu bukan alasan Nduk, semua manusia itu sama dihadapan Allah. Seorang Ning atau bukan itu tidaklah menjadi patokan untuk menjadi istri dari anak Abah. Umminya Hamam dulu juga bukan Ning. Yang lebih penting itu akhlaknya bisa menjadi panutan para santri," ungkap Abah Yai. Aku menatap Ummi Ma'summah beliau tersenyum.

'Gus Hamam, Kau yang dulu datang tiba-tiba saat hatiku terluka. Kau yang datang tiba-tiba untuk menyembuhkan luka? Lalu atas dasar apa aku menolak Khitbahmu?' gumamku dalam hati.

"Nggeh, Gus. Khitbah Njenengan, aku terima," jawabku malu-malu dengan menunduk.

"Alhamdulillah," seru mereka semua saat aku menerima khitbah Gus Hamam.

"Cie, si manja mau nikah," celetuk Bang Yusuf.

Mereka semua tergelak. Jika di ruang tamu ini hanya ada Aku dan Bang Yusuf sudah dipastikan sebuah cubitan mendarat di bahunya. Rasanya sangat malu sekali. Duh, Gusti ...

"Tapi, Ngapunten Abah Yai dan Ummi, Kulo nyuwun status kulo sebagai tunangan Gus Hamam dirahasiakan riyen," ucapku sambil menunduk.

Seketika ruang tamu ini menjadi hening. Bukan tanpa alasan aku meminta diriku dirahasiakan.

"Kenapa, Mbak Maira?" tanya Gus Hamam.

"Ngapuntrn Gus, saya hanya ndak mau mereka semua segan padaku, pasti mereka nanti mejaga jarak padaku, biarlah mereka sendiri tahu saat saya sudah menjadi istri sah njenengan," jelasku.

Abah Yai dan Ummi tersenyum ke arahku seakan tahu maksud ketidak nyamanan hati ini. Ya, aku tidak nyaman jika semua santri mengetahui statusku yang menjadi tunangan Gus Hamam. Bukan aku tak bahagia telah menjadi tunangannya hanya saja aku takut hal-hal yang tak diinginkan terjadi padaku dan Gus Hamam. Apalagi semua santri sangat mengidolakan Gus Hamam.

Ayah dan Ibu mungkin terkejut dengan apa yang telah aku katakan tapi mereka hanya diam tak menanggapinya. Seulas senyumam mengiasi bibir mereka berdua.

Aku bahagia karena mereka semua menyetujui keinginanku dan menerima alasannya. Pun Kang Yusron yang juga telah berjanji tidak membocorkan apa yang telah ia saksikan hari ini.

Ummi dan Abah Yai pun pamit undur diri. Raut kebahagiaan telah terpancar diwajah yang berkharismatik itu. Aku masih tak menyangka bahwa aku adalah wanita yang dipilih Gus Hamam untuk menjadi ratunya.  Sesuai kesepakatan bersama pernikahanku dengan Gus Hamam akan dilangsungkan sebulan lagi.

***

"Makasih ya Bang udah mau nganterin aku, ndak mau mampir ke ndalem dulu Bang,"

"ndak usah deh Abang lansung balik aja, oh ya, titip salam dong buat temenmu yang masih jomlo,"

"Halah modus Bang, udah sono pulang,"

Sore ini aku telah menginjakkan kaki lagi di pesantren, diantar oleh Bang Yusuf, mumpung dia libur katanya.

Tiga hari di rumah lebih dari cukup untuk mengurai rasa rindu pada keluarga.  Kuliyahku memang libur, tapi aku tak mau ketinggalan ngaji di pesantren. Kulangkahkan kaki menuju asrama untuk istirahat sejenak sebelum salat maghrib. Masih ada waktu tiga puluh menit.

Suasana ndalem terlihat rame banyak para abdi ndalem atau pun santri yang berlalu lalang keluar masuk ndalem. Saat aku berpapasan dengan santri lain aku menyunggingkan senyuman. hingga saat aku melewati pintu samping ndalem terderang sesorang memanggilku.

"Maira," teriaknya.  Aku menoleh kesumber arah suara. Ya, dia Mbak Mila. Dia keluar menghampiriku.

"Baru balik Mai,"

"Nggih, Mbak,"

"Yowes istirahat dulu sana,"

"Emang ada acara apa Mbak, kok sepertinya ndalem rame banget ya? "

Belum juga Mbak Mila menjawab pertanyaanku, suara Nur melengking memanggilku.

"Maira! Ya Allah aku kangen banget karo sampean," teriak Nur dari arah asrama berlari mengampiriku.

"Yowes Mai, aku masuk dulu ya, nanti kesini bantuin,"

"Insya Allah Mbak Mil,"

Aku pun bergegas berjalan kearah asrama tanganku sudah digandeng oleh Nur. Yah, dia memang lebay hanya tiga hari saja udah kangen.
Aku hanya diam menanggapi ocehan Nur yang bercerita kegiatannya selama aku pulang.

Sesampai di asrama aku membaringkan tubuhku di atas kasur lantai untuk istirahat sejenak. Nur sudah sibuk membuka oleh-oleh yang kubawa dari rumah.

"Mai, besok Gus Hamam lamaran," celetuk Nur sambil ngemil jajan.

Hening!

"Mai, malah bengong,"

"Eh, ndak kok, hanya capek saja," jawabku dengan cengiran.

"Calonnya orang mana, Nur," pura-puraku.

"Ndak tahu, pasti seorang Ning cantik," jawab Nur.

Aku hanya menanggapi ucapan Nur dengan gumaman, aku minder. Ya, tentu saja, aku hanya santri biasa yang beruntung dikhitbah oleh seorang Gus. Allah... Pantaskah diri ini?
Pernyataan Nur membuatku inscure. Aku menghela napas panjang. Menetralkan gejolak rasa dalam hati ini.

Lentera Hati MairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang