agaknya bumantara ibu kota telah membuat gadis rapuh ini melupakan fakta bahwasanya waktu tidak pernah berhenti berputar. jakarta memang mempertemukan nya pada dia, sang rumah percakapan asa, namun jakarta jua yang berperan sebagai saksi bagaimana dua insan tersebut kembali membenci asa.
―entah keduanya, atau hanya satu yang paling tersakiti oleh semesta.
"peringkat lima?" monolog lia.
ia tersenyum getir menatap papan tulis bertuliskan daftar peringkat sepuluh besar dari kelas nya. tertera jelas, ia bukan peringkat satu, melainkan lima.
"woah selamat ya riana, lo peringkat satu lagi!"
lagi? sirah lia otomatis menengok pada bangku riana yang banyak dikerumuni teman-teman yang lain. memang sudah berapa kali riana menempati posisi pertama?
lia gagal untuk yang kesekian kali nya.
ingatan kelam membawa ketakutan untuk lia, sedih, pilu, menyakitkan. pandangan nya meredup sejenak kala meraup oksigen untuk sesak yang mendadak. "jangan nangis, lia!" batinnya berseru, tak mau semua orang lain tahu kalau semangat nya sudah menjadi abu.
"buat lia, selamat juga ya, lo udah kasih yang terbaik!"
seruan dari yeji meluruhkan air mata lia, pun menumbuhkan pertanyaan pada ketiga gadis disana. mendengar itu justru membuat lia semakin tersakiti, mengingat ia tidak bisa tetap tegar seperti yang sahabat nya harapkan.
"li, lo kenapa nangis?" tanya yeji bersama riana dan ica yang menghampiri.
"lo sedih ken―" lia tidak mempedulikan kenapa ucapan ica tidak dirampungkan karena pukulan dari riana.
sejauh ini lia masih menerka apa yang akan ia hadapi beberapa jam lagi ketika mama atau papa nya datang untuk pengambilan rapot.
namun dibalik itu semua, lia sebenarnya puas dengan hasil kerja keras nya yang membuahkan hasil peringkat lima ini, hanya saja, apa orangtua nya merasakan hal yang sama? ia tidak yakin.
"lia, kata bu guru udah boleh istirahat, kantin yuk." lia menggeleng, menolak ajakan riana.
"gue mau sendiri dulu," lalu lia beranjak pergi dari tempatnya, sayang, tangan nya lebih dulu dicekal oleh riana.
"ngga. lo punya kita, li. jangan bersikap seolah-olah lo ngga kenal siapapun di dunia ini."
"ayo cerita." tatapan lia kembali sendu saat berhadapan dengan senyuman tulus riana, entah kenapa sejak pertama kali bertemu dengan sang primadona kelas tersebut, riana sudah menempatkan kenyamanan sebagai sahabat.
"tapi, na―"
"kita tunggu sampe anak yang lain kel―"
"WOI LO PADA! KELUAR ATAU GUE TONJOK?" padahal belum sempat riana selesai mengucapkan apa yang ia maksud, tapi yeji sudah melakukan apa yang ada di pikiran riana.
setelah kelas hanya diisi dengan keempat gadis ini, suasana menjadi hening. belum ada yang membuka suara, selain isak tangis lia.
"sebenernya tanpa lo cerita, kita udah tau apa yang bikin lo sampe sesedih ini disaat pengambilan rapot." yeji dan ica kompak mengangguk menyetujui perkataan riana.
"emang ini baru pertama kali kita lalui ujian bareng, tapi seperti yang pernah lo ceritain, kita jadi buat kesimpulan kalo penyebab nya orangtua lo." imbuh ica sembari mengusap punggung lia agar lebih menenangkan.
"tapi li, dari kejadian ini harusnya lo ngga boleh nyerah. buktiin ke orangtua, kalo lo bisa jadi seperti yang mereka inginkan."
lia menyeka air matanya, menaruh atensi pada riana yang baru saja berucap. "tapi kejadiannya udah berkali-kali, dan gue selalu gagal, na. gue ngga pernah minta kesempatan ke mama dan papa, tapi mereka yang ngasih cuma-cuma yang malah kesannya mereka maksa gue."
"ya ini jadinya. yang gue bisa cuma nangis, nyerah, bangkit, bahagia sebentar, terus jatuh lagi, disemangatin, dan kembali ditampar sama kenyataan."
"ngga ada dan ngga akan ada yang tau apa yang gue rasain, karna ini diri gue, bukan mereka, atau pun orang lain."
riana tampak menggeleng merespon lia, "kita tau, li. makanya kita peduli. kita emang ngga ngerasain, tapi kita pahamin keadaan lo."
lia menghela nafas dan menutup mulut sejenak untuk kembali bertanya, "terus? kalo emang kalian paham, bisa merubah apa? bener 'kan, gue cerita pun ngga akan berguna."
"lia, lo ngga tenang setelah curhat ke kita? atau lo iri sama riana karna dia yang dapet peringkat satu? ha―"
"yeji, kok lo gitu sih?" protes ica, merasa yang diucapkan yeji terdengar sedikit sarkas.
mendengar ucapan yeji, membuat lia sedikit mundur ke belakang, netra nya menampakkan kegelisahan yang kentara. "m-maaf," tutur nya dan pergi dari sana.
"YEJI TOLOL!"
"aku yang salah karna terlalu bahagia akhir-akhir ini, dan ini akibatnya, sedih langsung menyerbu bersamaan setelah berhari-hari aku melupakan tentang ada nya duka selain ada suka."
"juna, aku sudah jatuh. aku butuh kamu, tapi bukan untuk meminta dihibur melainkan meminta ditemani untuk membenci asa lalu setelahnya mengharapkan asa kembali untuk bangkit."
lia mengusap kasar air mata yang terus jatuh membasahi pipinya, tak tahu arah mana tujuan kaki nya. tak peduli banyak pasang mata yang menatapnya, termasuk sepasang netra meneduhkan milik pemuda di ujung kooridor sedang berdiri melambaikan tangan.
lalu lia mempercepat gerak langkah nya dan berlari, detik berikut nya ia sudah berada dalam dekapan pemuda yang berteman rasa, asa, dan romansa.
"juna, aku gagal!"
setelah mendengar pernyataan gadis nya, juna menghentikan gerak netra nya untuk melirik siswa-siswi yang memandangi nya dan lia, lalu memusatkan atensi pada gadis patah tersebut.
"kali ini, berapa?" tanya juna, sembari menepuk-nepuk pelan punggung lia.
"lima. sedangkan yang pertama, riana."
juna sudah menduga kalau bukan lia yang pertama, berarti riana yang tetap menduduki posisi bertahan.
"kalau gitu ini yang kesekian kalinya aku ngucapin ini. lia, untuk menjadi yang terbaik ngga harus jadi yang pertama. definisi terbaik menurut aku itu ketika kamu melakukan nya dengan usahamu sendiri, dilandasi semangat dan harapan. perihal hasil akhir, itu diluar kendali kamu."
lia melepas pelukan nya, "aku tau, jun."
"terus, kenapa kamu sedih?"
"emang aku ngga boleh sedih? gimana ngga sedih kalau nanti aku akan dapet segala caci maki dari mama sama papa. ngga pernah sekali pun aku ngga tersinggung sama setiap kata yang mereka ucapin mengenai peringkat. kamu emang punya pikiran gitu, tapi orangtuaku beda."
"kalau tau ini akan terulang, dari kemaren aku ngga akan berharap buat bahagia. percuma, mereka dateng sesaat."
pemuda ini tidak menjawab lagi karena ia tahu, argumen apapun untuk membangkitkan lia, itu tidak akan berguna sebab atma sang gadis sudah terlalu rapuh. tunggu saja, lia akan menggenggam asa lagi, karena juna yakin gadis nya itu kuat.
juna kembali mendekat, mengikis jarak semenjana untuk menangkup dan mengusap air mata di pipi lia. "asa, suka, duka, lalu kembali lagi pada asa. itu sudah diatur takdir, lia. jangan lelah sekarang, masih banyak hal lain yang menunggu kamu di kedepan hari. simpan tenagamu, dan bersiap. lia pasti bisa!"
_ _ _ _
aku ngga tau atau masih belum tau, apa yang menjadi ciri khas dari setiap cerita yang aku buat.
yang dari awal sampe sekarang aku ngga jago bikin elegi, pun begitu juga dengan romansa yang menggetarkan rasa. tapi ya namanya juga memaksakan, ya inilah hasilnya.
mohon maklumkan.
oh ya, kalian paham ngga teori cerita ini tentang asa-asa itu? tentang menggenggam asa untuk bangkit terus jatuh lagi karna asa. kalian paham 'kan?? aku ngga belibet jelasinnya 'kan??
KAMU SEDANG MEMBACA
percakapan asa
Fanfiction[ na jaemin ] perihal segala romansa yang kembali menanti sang perasa ©Ratnamonalisa, 2O21