kendati juna telah bertemu lia yang pernah hadir di skenario hidup nya, ia tetap saja masih merindukan si gadis. tapi mengingat perkataan haikal tadi siang, membuat juna mendecih tak suka.
"lebay lo, gak ketemu dua tahun aja sampe mau nangis kejer."
saat itu juga, juna menjawab, "tahu apa lo tentang rindu?" tanyanya yang langsung membungkam haikal.
tapi haikal tetap lah haikal, yang perangai nya selalu keras kepala, "lah lo? seberapa paham lo soal rindu? emang lo dilan?" dalam hati, juna mengumpat.
oh pantesan dia ngga berhenti ngejar riana, orang ini terlalu ingin menang sendiri.
manusia memang seperti itu, mengutamakan kata daripada pikir, didahului ucapan barulah berpikir. tak jarang, juna juga seperti itu.
dan kini juna tengah dilanda bimbang, ingin bertemu lia tapi ia tidak tahu dimana alamat rumah baru gadis itu. lagi pula, juna hanya ingin ruang rumpang di hatinya kembali utuh, dan yang bisa mengisi, hanya lia seorang.
maka dari itu, juna memilih menemui riana yang tengah rapat osis untuk menanyakan hal tersebut.
"ria―" juna tak melanjutkan pangilannya, sebab ia tidak mau mengganggu urusan riana saat ini dengan haikal.
juna juga tau, kedua sahabat nya itu punya skandal cinta bertepuk sebelah tangan. dan setelah mengingat hal itu, juna mengurungkan niatnya untuk bertanya hari ini. jika dilihat-lihat, yang sedang dibicarakan haikal dan riana juga penting.
rasanya, juna ingin menyalahkan diri sendiri saja. kenapa tidak sejak tadi pagi ia menanyakan segala hal tentang lia yang kini sudah berubah. bisa saja setelah selama dua hari riana mengenal lia, dia sudah mengetahui alamat rumah lia dan semacam nya.
sekitar dua menit juna berjalan dari ruang osis menuju gerbang, akhirnya ia dipertemukan dengan jawaban bimbang nya. rupanya lia belum pulang sekolah. segera juna menghampiri lia untuk sekedar menawarkan pulang bersama, mungkin?
senandungan lia berhenti saat menyadari kehadiran juna. "udah sore, kamu belum pulang?"
juna mengangguk, "mau pulang bareng?"
"ayo, tapi sepeda kamu mana?"
mendengar itu lantas mengundang tawa juna, "aku ngga bawa sepeda, lagian ini bukan dunia smp kita lagi, lia."
gadis yang menyadari dimana letak kesalahan ucapan nya itu pun menepuk jidat, "iya ya, maaf aku lupa."
tidak ada lagi yang namanya jarak, tidak akan ada yang mengeluh perihal jauh, juna dan lia pun sudah berhenti menyalahkan semesta. karena kini ada sepasang muda mudi yang kembali menautkan jemari, dibawah swastamita yang menamani.
"rumah kok sepi?" tanya juna, saat tadi ia sempat menilik suasana rumah baru lia.
empu nya rumah menatap ke arah beranda, tidak ada satu pun tanda-tanda rumah sedang ada penghuni. "mungkin mama sama papa masih ada kerjaan."
"kamu gapapa di rumah sendirian?"
lia mengangkat bahu sembari tersenyum, "udah terbiasa."
"salam untuk om dan tante. udah makin sore, aku pulang." pamit juna, ia melepaskan genggaman tangannya tapi jari kelingking nya masih dalam pegangan tangan lia, seperti anak kecil yang menggandeng jemari ibu nya.
"jun, nyangkut." ujar lia, harusnya setelah ini juna peka kalau lia masih rindu pada nya.
juna rn:
"tapi bentar lagi malam, aku belum mandi loh."
juna kembali pada posisi sebelumnya, kemudian kembali menggenggam tangan lia. "yang penting aku udah tau rumah kamu, 'kan."
lia mengerucutkan bibir nya, "terus?"
"atau begini, mau bertukar nomor telfon?"
gadis itu mengangguk antusias, kemudian tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya. "yah sayangnya aku udah punya nomor kamu, dari rendra tadi."
juna hanya menganggukkan kepala sebagai respon. dan dalam suasana seperti ini, biasanya juna dan lia akan saling menatap dan bergaul dengan pikiran masing-masing, kebiasaan itu pun belum terlupakan sampai saat ini.
"juna, kamu tau?"
pemuda ini menggeleng sebagai jawaban, "apa?"
"sesaat, aku bisa ngerasa jatuh dan rapuh. tapi setelahnya aku bisa kembali baik-baik aja, entah itu tanpa sebab atau sebaliknya. padahal sebelum itu aku pikir gak bisa bangkit lagi, tapi siapa sangka? menjauh dari luka, membuat kepingan yang udah rapuh kembali rapih lagi."
"iya, rapih dengan sedikit gores yang membekas." imbuh juna, dari nada bicaranya jelas ia menyindir lia yang berusaha kuat padahal dia tak pandai menutupi luka.
senyuman lia perlahan memudar, "hah?"
"lia, kamu ngga pandai berbohong. terutama sama aku."
"jadi, omongan kamu tadi itu kurang lengkap," tambah juna, kemudian melebarkan senyumannya di depan lia yang justru tak lagi tersenyum. "yaudah, aku pulang. jangan lupa mandi, oke?"
lia menatap sejenak tangannya yang terlepas dari genggaman juna, karena tangan pemuda itu kini tengah melambai.
"hm. ati-ati!"
sampai mobil juna tak terlihat dari pandang netra nya, lia masih terpikirkan dengan ucapan juna tadi. rupanya juna masih suka menggunakan cara sindiran untuk menyampaikan rasa pedulinya. tapi jujur, itu sedikit mengganggu lia sekarang.
lia menghela nafas panjang saat dari arah yang berlawanan dengan arah mobil juna, ia melihat mobil orangtua nya yang hendak pulang. kalau biasanya anak-anak lain akan memilih menunggu sampai bertemu mama papa mereka keluar dari mobil, lain hal nya dengan lia yang memilih masuk rumah lebih dulu.
ia tidak mau harsa yang baru saja didapat dari juna direnggut mama papa nya begitu saja, hanya karena lia mendengar kata "belajar".
"putri! makan dulu, setelah itu belajar!"
lihat, baru saja lia menutup pintu kamar nya, dan suara mama nya sukses membuat tubuh lia merosot di balik pintu.
"iya," lirih nya.
dan jawaban lia keluar begitu saja meski ia sudah terlalu lelah untuk menanggapi segala perintah dari orangtua nya.
_ _ _ _
hai kalian, kalau lupa dengan perangai lia, bisa kembali ke chapter 'O1' dari ❝Tunggu lalu Temu❞
tergantung keinginan hati saja.
enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
percakapan asa
Fanfiction[ na jaemin ] perihal segala romansa yang kembali menanti sang perasa ©Ratnamonalisa, 2O21