O4.

139 67 47
                                    

bertaut―nadin amizah


















tuan yang ditunggu hadirnya kini sudah di hadapan. lia melihat situasi, barangkali mama dan papa nya belum tidur.

"kayaknya mama sama papa udah tidur," ucap lia, memberitahukan kepada juna yang sudah duduk tenang di teras rumah lia.

halaman rumah ini asri, tak jauh berbeda dari surga milik lia yang ada di jogja. gadis itu memang suka merawat segala jenis tanaman, kecuali rumput.

juna mengangguk, "terus kenapa kamu belum tidur? dan juga, kok kamu bisa tau kalo aku ada di depan rumah kamu?"

lia yang baru selesai memeriksa suasana rumah nya yang sepi itu pun ikut duduk di sebelah juna. "aku tuh baru selesai belajar, mau ambil minum di dapur, tapi dari jendela aku liat mobil kamu di depan gerbang. ngapain sih? nakutin tau ga."

"dih? kenapa takut?"

"siapa tau maling, ya kan."

"mana ada maling yang dateng pake mobil."

"hey jangan remehin maling, kalau mereka udah profesional, dan udah tingkat tertinggi di dunia permalingan, pasti pake mobil."

juna yang mendengar ocehan gadis nya itu pun menahan tawa sambil bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi.

"wah, saking pinter nya kamu sampe tahu teori dunia permalingan, ya?"

"selain itu, alasan kenapa aku tau itu semua karena aku udah berpengalaman."

kepala juna menengok cepat, terkejut dengan apa yang baru saja didengar nya. "hah?"

"iya, jadi maling hati kamu."

mendapat guruan yang membuat hatinya diserbu ribuan kupu-kupu, juna pun tertawa. "selama kamu ke bandung, dapet ilmu gombal?"

lia memberengut masam, "loh kenyataan, 'kan? kalau aku ngga maling hati kamu, sekarang kamu ngga mungkin duduk berdua disini sama aku."

akhirnya juna mengalah ketika sang puan sudah mulai membawa perihal realita. disusul helaan nafas yang terdengar penuh beban dari lia, mengundang atensi dari juna.

"tiba-tiba murung?" tanya nya.

lia menengok seraya tersenyum, "emang sudah seperti itu harusnya."

juna termangu sesaat, sebelum akhirnya ia memilih bertanya daripada terus memendam dan berakhir tak tahu jawaban.

"kenapa?"

gadis itu lagi-lagi menghela nafas, agaknya hidup lia memang sepenuh itu dengan beban.

"kadang aku diingatkan oleh ketentuan kalau ada senang maka juga ada sedih, begitu pun sebaliknya. kamu pernah denger kalau terlalu bahagia pasti nanti akan sedih?"

juna mengangguk.

"aku percaya hal itu, makanya aku terlalu takut buat bahagia yang berlebihan, juna."

"tapi itu justru membuat kesannya seperti kamu ngga berhak bahagia," ujar juna. jujur saja, juna pun tidak tahu akan kebenaran hal tersebut.

lia mengedikkan bahunya, "bisa jadi."

"kok tiba-tiba pesimis?"

"juna, kita itu lagi bahas tentang realita."

"ya itu termasuk realita, kamu pesimis orangnya."

dengan cepat lia mengalihkan pandangan dari mata juna. disaat-saat suram begini, lia justru tidak mampu berhadapan dengan mata penuh ketulusan milik juna, entah kenapa.

"kalau aku pesimis, sekarang aku ngga akan di jakarta."

juna menatap wajah lia dari samping, pun tetap terlihat menyedihkan. ia tidak ingin melanjutkan obrolan kali ini.

"lia, udah larut malam, masuk gih." titah juna, membuat lia berdiri dari duduknya.

gadis itu mengangguk, "kam―"

"eyy! ternyata lo, bang!" seru seseorang dari dalam rumah secara tiba-tiba.

"janu, jangan keras-keras, nanti mama sama papa bangun." ucap lia memperingatkan.

"iya, bawel." jawab pemuda berasma janu tersebut.

setelahnya lia lebih dulu masuk ke dalam rumah dan membiarkan sepupu nya itu menyapa kakak kelas yang dulu sangat dekat dengan nya.






















pada titik tatap nya yang berpusat pada pojok kantin, juna tak pernah melunturkan senyuman nya saat disana lia sedang tertawa lepas entah menertawakan hal seperti apa, tapi yang pasti disini juna ikut bahagia.

dulu, lia itu hanya figura yang ia ratapi setiap malam sebab hadirannya yang tidak tuhan beri izin. tapi kini, lia benar ada di hadapannya.

dan tentu hal ini akan juna ingat dalam kalbu, semua perihal rindu, segala yang bertamu, dan apapun itu.

"kesambet lo?" tanya jeno yang tiba-tiba menoyor juna yang tidak salah apa-apa.

"apaan sih, jono! ganggu deh lo." sungut juna tak terima sebab dimensi halu nya sudah buyar.

"sial, itu bukan nama gue!"

"diem, mau gue sumpel pake mangkok tuh mulut?"

rendra menengahi, daripada nanti akan terjadi duel maut dalam kantin dan mencatat sejarah baru di dunia persekolahan.

"haikal, traktir gue dong, duit gue ketinggalan di tas." pinta jeno.

"tuh 'kan, gue dari tadi diem, tetep kena juga."

_ _ _ _

park jisung  as  januar arghaza

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

park jisung  as  januar arghaza

❝di dunia yang katanya besar ini, tidak ada yang sempurna, karena faktanya dunia itu kecil yang tidak pantas diberi kesempurnaan❞

ya ga si?

percakapan asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang