12.

66 32 44
                                    

ziva magnolya―tak sanggup melupa









"ayo."

tak mau membuat lia semakin larut dalam ketakutan, juna menggenggam tangan sang gadis yang tengah dilanda gundah.

ia melirik lia yang sedang menatap mama nya di beranda. juna jelas melihat raut kekhawatiran di wajah mama lia, membuat ia semakin yakin kalau semuanya akan baik-baik saja tanpa ada amarah. tapi meski begitu, juna pun masih merasakan kalau tangan pada genggaman nya tetap dingin.

"putri!"

juna hendak melepaskan tangannya dari lia namun gadis itu justru mengeratkan genggaman saat sang mama berlari menghampiri.

"kamu darimana aja? mama nunggu kamu dari tadi."

sementara yang ditanya menundukkan kepala, "nungguin buat apa, mah? dihukum?"

juna mengusap tangan lia di genggaman nya dengan ibu jari, lia tidak seharusnya mengatakan hal itu. juna sendiri merasa tidak enak hati harus berada di posisi yang salah saat ini.

"dihukum?" ulang mama lia, merasa bingung.

"mama kira sikap yang mama kasih setiap kegagalan aku itu apa?"

"cuek, dingin, bahkan hampir ngga anggap aku ada. maaf aku harus ngomong ini sama mama, tapi aku udah capek terus-terusan disalahin. bukan salahku kalau aku ditakdirin bukan buat jadi yang pertama, ma..."

sang gadis mengangkat kepala, bersamaan dengan kehadiran papa yang mungkin mendengar suara putri nya di luar rumah.

melihat papa, jujur lia semakin ragu akan melanjutkan sesuatu yang selama ini ia pendam atau tidak, tapi sesuatu dari dalam hati nya terus meminta dikeluarkan. ia rasa adorasi nya sudah cukup besar sehingga sampailah saat ini, waktu yang dipaksa tepat untuk mengakhiri segala lara.

"mama sama papa kasih aku kesempatan, aku terima. mama suruh aku belajar, aku juga lakuin. papa minta aku berjuang, aku nurut walaupun terpaksa. tapi kalo mama sama papa minta peringkat pertama, aku ngga percaya sama diri sendiri kalo aku sanggup."

"yang aku bisa cuma berharap, berharap, dan berharap. semoga usahaku ngga sia-sia lagi, biar mama sama papa bisa kasih sedikit perhatian buat aku. tapi seperti biasa, harapanku juga sia-sia."

campur aduk, lia merasa hatinya sedang tidak tahu arah. dan aneh, ia hampir tidak percaya melihat mama meneteskan air mata karenanya.

mama lia terisak, lantas mendekat pada sang putri. "lia, mama cuma mau yang terbaik buat kamu."

"selalu. selalu itu jawaban mama."

"ya karena memang itu yang mama maksud. lia, orangtua mana yang mau anak nya susah dikemudian hari?"

"kamu bilang ngga percaya diri, 'kan? kalo gitu kamu cuma harus mikir kalo diri kamu mampu."

lia menggeleng lemah, akhirnya setetes tirta turun dari pelupuk matanya. ia hanya tidak habis pikir dengan jalan pikir orangtua nya. "ma, tolong... lia capek gini terus."

"tapi lia―"

"ma, udah." papa yang sedari tadi tak bersuara kini membawa istri nya masuk ke dalam rumah sebelum ada lebih banyak lagi air mata yang terbuang hanya dalam satu malam.


belum usai, genggaman tangan itu kian terlepas seiring dengan tangisan lia yang sudah tidak tahu batasan. perlahan semua luruh, selalu rapuh, dan kembali terdayuh.


juna sendiri tidak sanggup melihat gadisnya hancur, tapi ia harus kuat, mengingat hanya ia yang lia punya sebagai pelipur lara. lantas juna menyamakan tingginya dengan lia yang berjongkok dan kedua tangan menutup wajah.

lalu juna mengusap surai tergerai milik lia sampai pada punggung tak lagi tegap itu, ia menepuk pelan barangkali gadisnya mendapat ketenangan. tapi tidak, juna malah mendengar lia semakin terisak dengan suara tertahan.

"gapapa..., kamu udah kerja keras selama ini dan hasilnya udah yang paling terbaik dari yang baik selama ini." ucap juna, lirih, dengan suara berat nya namun paling nyaman untuk lia dengar.

si gadis selangkah berpindah tempat untuk tempat berjongkok, sedikit menjauh dari jangkauan tepukan tangan juna. "udahlah jun, yang tau baik buruk nya peringkatku cuma mama sama papa. bukan aku, apalagi kamu."

tidak mau kalah, juna mendekat lagi untuk memberi tepukan ketenangan untuk lia. "aku saksinya, kamu selalu ada di lima besar sejak kecil. bahkan aku cuma bisa ngalahin kamu satu kali waktu kelas enam sd, itu pun beda tipis." ujar juna, sedikit terkekeh.

merasa tidak mendengar lagi tangisan, juna memiringkan kepalanya menyelidik lia. senyuman juna melebar kala melihat dua jari lia terbuka memberi akses pada matanya untuk menatap mata juna secara langsung.

"em, tisu." pinta lia dengan suara yang hampir tak tertangkap oleh telinga.

"ihh gemesnya." juna mengacak lebih dulu rambut lia sebelum memberi sapu tangannya alih-alih tisu yang diminta.

"aku salah kenapa harus ngomong kayak tadi. pasti mama sama papa tersinggung."

sang adam menyela, "emang kamu ada pilihan lain buat bikin hati kamu bebas dari segala unek-unek selama ini?"

"bukan sekarang, mungkin sebentar lagi kamu bakal ngerasa kalau jujur lebih baik dari pada terus-terusan memendam dan malah berakhir menyesal karena hal yang ngga tersampaikan."

sedang gadis itu bungkam, kalimat juna barusan banyak benarnya. jangan ditanya bagaimana kondisi hati lia saat ini, tentu lebih baik dari sebelum-sebelumnya, tidak seperti kegagalan di bandung yang rumit tanpa kehadiran juna.

keduanya mengunci pandang satu sama lain, dan tanpa memutuskannya, juna kembali meraih tangan gadisnya untuk digenggam.

"suka banget nangis sih, kasian mataku udah jarang liat senyum cantik kamu." tangan kanan juna menangkup pipi lia untuk mengusap jejak-jejak air mata.

selepas itu, hembusan angin malam sukses menerbangkan setiap asa milik salah satu perasa. entah untuk dikabulkan dan memberi harsa, atau dijatuhkan lalu kembali memberi luka.

 entah untuk dikabulkan dan memberi harsa, atau dijatuhkan lalu kembali memberi luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
percakapan asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang