1O.

72 36 42
                                    

fourtwnty―diskusi senja









alih-alih kembali pada rumah yang selalu membuat gundah, lia lebih memilih tetap di luar sementara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

alih-alih kembali pada rumah yang selalu membuat gundah, lia lebih memilih tetap di luar sementara. meski ia tahu ini akan lebih memperkeruh suasana, tapi apa daya? kaki nya terlampau enggan untuk pulang.

seolah-olah langit dan awan nya lebih mengerti lia dari pada rumah. menenangkan, sunyi, namun juga hampa. lia duduk bersila diatas rerumputan lapangan di komplek nya, dengan mata terpejam ia menghela nafas panjang menikmati dekapan angin senja.

seperti tidak ada habis nya ia memendam keluhan, sampai yang terlontar hanya jawaban turutan. lia hanya lelah terus-terusan dihantui ketakutan akan kegagalan, pada akhirnya realita kembali menghampiri dengan membawa kegelisahan selama ini yang benar-benar terjadi.

"bodoh"

ia benci ketika satu kata tersebut ditujukan padanya. padahal, itu tidak benar. terkadang lia percaya pada dirinya sendiri bahwa ia tidak bodoh, tapi tidak terlalu pintar juga. namun mendeskripsikan kemampuan nya dengan kata itu, rasa-rasa nya terlalu kejam, kasar, dan menyakitkan.

sampai detik ini, lia masi bertanya-tanya, "apa cuma aku yang ngerasain ini?"

yang dimaksud 'ini' yaitu, merasa kalau keberhasilan nya dianggap kegagalan oleh oranglain sehingga ia harus menerima sedih yang tidak perlu.

tapi kembali lagi pada waktu, lia serahkan segala asa nya pada alur kehidupan. dan untuk yang kesekian kali, lia harus membangun asa nya lagi.

sampai ketika kelopak mata itu terbuka, dalam sepi pukul empat sore, deru motor terdengar begitu jelas menarik perhatian lia karena ketenangannya terganggu.

"woi!"

lia menyipitkan matanya melihat seorang gadis yang duduk di motor seraya melambaikan tangan.

"yeji, kok bisa disini?" tanya lia setelah gadis tersebut duduk di sebelah nya.

"gue mau ke rumah lo tau, eh tapi malah disini. ngapain? merenung?"

"hm."

merasa sahabat nya sedang tidak seperti biasanya, yeji semakin memperhatikan raut wajah lia. tidak ada jejak tangisan, pun bendungan tirta di kelopak mata lia. ia tersenyum, setidak nya lia tidak sampai menangis.

"orangtua marah?" ia lebih dulu membuka topik.

lia menengok, "kayaknya. mereka emang ngga mbentak, tapi selalu diem. ngga ada pujian, ngga ada amarah, juga ngga ada nasehat. karena itu gue ngga pulang, untuk saat ini rumah pasti serasa hampa, dan kosong."

"entah itu karena mereka memang malas bercakap, atau menyibukkan diri menyembunyikan kekecewaan."

sesekali yeji menepuk bahu lia yang sedang bercerita, "kenapa gitu sih, li?"

setiap pertanyaan itu terlontar ratusan kali, lia hanya mampu tersenyum tipis, menggelengkan kepala dan menjawab. "mama papa tuh cuma pengen liat anak semata wayang nya sukses. tapi bagi gue ini terlalu membebankan."

"padahal untuk sukses ngga harus berada di peringkat pertama, loh." tambah yeji.

"gue juga ngga tau lah, ji. semua yang mereka harapain seakan ngga akan pernah bisa gue ganggam."

"bukan ngga akan pernah bisa, tapi belum bisa. berjuang lagi, pasti bisa!"

lia menghela nafas panjang, mengepalkan jemari nya. ia tidak bisa menjawab lagi kalau seseorang sudah membahas perihal 'berjuang'. kalau ia melanjutkan pemabahasan ini, malam akan cepat berlalu, sementara ia tidak mau.

hanya beberapa orang yang tahu, ia sudah terlalu lelah untuk berjuang.

sedangkan yeji yang sedari tadi memperhatikan lia, ia ikut menatap kemana arah pandang lia.

"lo masih termasuk orang yang hebat, li. disaat lo ada dalam titik terendah lo, ngga pernah sekalipun terlintas di benak lo buat bunuh diri. itu hebat banget sih menurut gue."

mendengar itu tentu membuat kepala lia kembali menengok, "amit-amit, jangan sampe. gue masih sadar kalo tuhan paham sama kemampuan gue dalam menghadapi masalah."

keduanya tertawa kecil dibawah naungan langit jingga, yang kalau kata hati lia sih ini sangat menenangkan.

"lo sebenernya mau ngapain?" tanya lia.

"menurut lo? ya jelas main lah. ayo pergi, yang lain udah nunggu disana."

lantas lia teringat kalimat yang pernah riana ucapkan saat pertama kali mereka bertemu. "ayo ke kantin, yang lain udah nunggu disana." bukan apa-apa tapi percayalah, lia merasa lebih baik setelah mendengar kalimat 'ada yang menunggu nya' terlontar dari mulut sang sahabat.

bersamaan dengan hembusan angin petang lia bangkit dari duduknya, ia mengukir senyum, "tapi gue masih pake seragam sekolah, males pulang juga."

yeji berdecak seraya berdiri kemudian melepaskan jaket yang ia kenakan. "nih pake jaket gue. sini tas lo gue bawain."

percakapan asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang