15.

92 24 23
                                    











"masih hujan, kal, lo jangan bikin repot yang lain deh, disini aja dulu sampe reda." ujar juna, menyarankan.

"eit lo diem aja deh, lagi sakit juga." jawab haikal, kembali mendudukkan juna di sofa.

"udah lah, jun. kita gapapa kok, lagian ini juga udah sore. udah pesen taksi online, sayang kalo di cancel." ica menambahi.

"ayo cepet pulang!" haikal bersorak heboh saat semua teman setuju untuk pulang bersama. juna sendiri sampai bingung dengan tingkah sahabatnya hari ini, mungkin haikal tidak betah dengan tatapan intimidasi jeva sedari tadi.

"tuh 'kan―" riana menggelengkan kepalanya tak habis pikir melihat haikal yang nekat menerobos hujan saat klakson mobil terdengar.



"cepet sembuh ya, juna."

pemuda itu diam tidak merespon sampai ketika lia menepuk pundaknya, juna baru tersadar dari lamunannya. "hah? i-iya. kamu pulang sekarang?"

"iya, bareng yang lain, kenapa?"

juna menghela nafas panjang, "aku kangen kamu." perkataan juna menarik sudut bibir lia membentuk senyuman―yang sudah jarang juna lihat.

"tapi aku ngga punya waktu lagi di rumah kamu. maaf, aku harus pulang."

mau tidak mau, juna ikut mengukir senyum, tipuan kalau ia tidak baik-baik saja. "iya, gapapa."

lia mengangguk, "aku pulang, ya."

"hati-hati"







"apa gue bilang, lia tuh ngga tau diri."

juna melirik cepat ke arah jeva yang sedang bersandar di ambang pintu kamar dengan tangan terlipat di dada.

melihat tatapan itu, jeva bahkan tidak takut sama sekali. "maksud gue kadang, kadang lia ngga tau diri gitu. kalo lo diginiin terus, korelasi macam apa coba?"

juna berjalan melewati jeva begitu saja, kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang. "gue cinta dia ngga terlalu ngarep balasan apapun. ngga perlu ada korelasi diantara gue sama dia."

jeva ikut terbaring di sebelah juna setelah menutup kasar pintu kamar membuat juna tersentak, "lo yakin? sakit loh kalo gitu caranya. lo suka sama lia, lia juga suka sama lo, tapi di saat kalian tau perasaan masing-masing, yang berjuang cuma lo."

nah itu, berjuang sendiri.





juna merubah posisinya menjadi duduk, menatap kembarannya, "jev, kalo gue ngga setuju dia ke luar negri, boleh ga sih?"

sementara jeva tertawa kecil, "dia ngga butuh persetujuan lo, jun. buktinya, lo bukan termasuk orang yang dia kasih tau kabar itu."

tubuh tegap itu kembali rubuh di posisi ternyaman ranjang, "jeva! LO TEGA BANGET NGOMONG GITU SAMA GUE."

"dih, itu fakta kali."

"nyebelin lo."

"harus." ucap jeva bangga.

"udah, stop mikirin orang yang ngga mikirin lo―"

juna mencubit lengan kembarannya, "ngga usah sok tau deh!"

yang mendapat cubitan mengaduh kesakitan, "lo yang ngga bisa terima kenyataan, tolol!"

"kenyataan apa lagi sih, jev? apa lagi yang harus gue terima hah?"

"kenyataan kalo lia harus ninggalin lo lagi, demi ngejar impian dia."

"impian siapa? lia? engga! jadi dokter bukan impian dia, lebih tepatnya orangtuanya."

jeva menghela nafas dan berpindah tidur di ranjangnya sendiri. tapi sebelum itu, "kewajiban anak itu nurut sama orangtua, dan lo yang bukan siapa-siapanya, jangan bikin anak ngelawan sama orangtua."

juna bungkam pada akhirnya.

ia sadar, semua tentang kepemilikan. lia bukan miliknya, dan akan memperkeruh suasana kalau ia menjadikan lia sebagai miliknya.

"lo dari tadi ngatain gue bukan siapa-siapanya lia, padahal gue penting buat hidup dia."

jeva menutup seluruh badannya dengan selimut, "lo bakalan jadi ngga penting kalo dibalik itu semua tanpa status yang jelas."

"maksud lo, gue harus nembak lia gitu?!"

"terserah lo. lagian, dia ngga boleh pacaran. kalo lo maksa, yang ada orangtuanya ngelarang lo sahabatan lagi sama lia. jadi, lebih baik menyerah di situasi lo saat ini."






raut juna menandakan ia lelah dengan segalanya. semua yang menyangkut duka pemberian takdir. ini terlalu rumit untuk ia uraikan.

juna masih patah hati, ditemani alunan derai dan saudara kembar yang membantu kontemplasi. meski lia datang memberi afeksi, namun kesannya seperti bukan korelasi. seolah tanpa arti.

memang apa untung nya bagi juna ketika mendapat luka? sedangkan juna selalu memberi sayang pada gadisnya. ia ingin marah, tapi tidak ada hak sebagai jaminan.

namun―

"lo salah jev, kalau menyerah yang lebih baik, mengikuti alur jelas yang terbaik."










di titik ini, juna rasa pelipur lara harus selalu siap mempersilahkan bahunya sebagai tempat bersandar kala dia yang rapuh datang membawa keluh kesah untuk dibagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

di titik ini, juna rasa pelipur lara harus selalu siap mempersilahkan bahunya sebagai tempat bersandar kala dia yang rapuh datang membawa keluh kesah untuk dibagi.

sekuat apapun juna berkata perihal kebiasaan buruk lia, dibalik itu semua, fakta bahwa lia selalu datang dengan ceritanya tidak bisa juna lupakan. hanya saja, kapan itu akan terjadi.

_ _ _ _

lanjut | unpub

so?

percakapan asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang