O2.

196 79 63
                                    

waktu yang salah―fiersa besari
(cover by hanin dhiya)





















ketika yang lain bisa berdiskusi perihal masa depan dengan orangtua mereka, berbeda lagi dengan lia yang semua itu hanya keinginan, bukan ketentuan. disaat orang-orang disekitar nya punya kebebasan sebagai bagian dari hidup, lia hanya bisa menertawakan diri sendiri yang selalu mengunci mulut untuk sekedar mengeluh pada orangtua nya.

nyatanya hidup lia selalu hampa tanpa hadirnya pelipur lara.

lia duduk termenung di kantin sekolah, berteman selembar kertas dan pensil, ia fokus memutar otak.

"sudah siap menjelaskan?"

dengan cepat lia mengalihkan perhatian ke sumber suara yang sudah duduk di sebelah, menatap tepat di manik matanya.

buru-buru lia melipat selembar kertas penuh coretan rumus-rumus matematika tersebut dan memasukkan ke dalam saku seragam.

"aku nungguin, loh." ujar pemuda yang kemarin lusa permainan piano nya sempat terjeda karena kehadiran puan yang dirindukan secara tak terduga.

"jun, maaf aku gak mau diganggu."

lia berdiri dari duduknya hendak melangkah pergi meninggalkan masalalu serta mencegah gores penyesalan semakin lebar. sayangnya, tangan mungilnya sudah lebih dulu digenggam oleh juna dan membiarkan sang gadis merasakan kehangatan khas pemuda tersebut.

"terus siapa yang mau bertanggung jawab sama pertanyaan-pertanyaan di otakku?"

mendengar perkataan pemuda itu lantas membuat lia kembali duduk di tempatnya dengan tatapan yang tak tahu akan terpaku kemana, pertanda ia gugup dan cemas.

sementara juna yang memahami situasi nya, segera mendekatkan duduknya dengan lia, "aku ngga minta banyak kok, cuma ingin tau jawaban pertanyaan yang kemarin." ucapnya sangat lembut, sebab ia tahu, kalau bukan dirinya yang memperlakukan lia seperti ini, lalu siapa lagi?

dalam benak lia timbul satu kesimpulan. bahkan disaat lia pergi seolah-olah ia yang menginginkan perpisahan, juna tetap memberikan segala afeksi tanpa ada celah seperti masih dilanda kekecewaan.

"boleh, aku peluk kamu?" tanya lia dengan hati-hati, takut kalau keinginan nya ini malah membuat juna menganggap lia berbeda.

"satu detik sebelum kamu minta, aku lebih dulu merencanakan."

juna tersenyum, lantas merentangkan tangannya yang langsung disambut baik oleh si peminta dekapan.

air mata lia luruh di bahu ternyaman tempat ia bersandar, rindu dua tahun nya telah terbayar detik ini juga. "gimana bisa?" tanya nya merespon ucapan konyol juna tadi.

"karena aku cuma perlu satu detik buat mikirin wacana, dan punya banyak waktu untuk dilakukan sesuai rencana."

adakah salah satu dari kalian bertanya, kenapa harus juna sang pelipur lara nya? apa kalian perlu alasan untuk mengerti kalau juna lebih dari kata sempurna meski tidak ada yang sempurna di dunia ini?

"jangan nangis, lia. kita belum mulai cerita."

juna melepas pelukan nya, diakhiri dengan usapan di bahu lia sebagai penyemangat. sekecil apapun masalah lia, gadis ini pasti akan menangis tersedu-sedu, karena dari kecil nya masalah baru itu, menyebabkan masalah yang lain membesar di otak lia.

"jun, kamu tau 'kan, kalo aku gak pernah ada niatan buat pergi atau jauh dari kamu?"

"iya."

"kamu sendiri juga tau, aku gak bisa tolak keinginan papa sama mama. gak ada yang dukung keputusan aku buat tetap tinggal, semua cuma mikir pergi, pergi, dan pergi, asalkan mendapatkan kebahagiaan yang gak bisa dibagi―"

lia mengusap air mata saat menyadari mulai banyak pasang mata yang menatap nya aneh. juna masih mendengarkan dengan baik, mempersiapkan tempat di hatinya untuk cerita lia kali ini setelah sekian lama.

"tapi aku mau berbagi sama kamu, juna. sayangnya, selalu gak bisa. yang aku kasih cuma kecewa, ya 'kan?"

saat juna mengangguk sebagai jawaban, lia menundukkan kepala, menyadari dimana letak kesalahannya.

"tapi setelah dipikir-pikir, selama ini yang aku rasain lebih dominan ke rindu, daripada kecewa. aku kangen sama kamu." ungkap juna kemudian melebarkan senyumannya, membuat lia memalingkan wajah sejenak saat menebak-nebak pipi nya pasti sedang merona saat ini.



























"haikal bodoh!" lia sempat dikejutkan dengan umpatan riana yang ditujukan kepada pemuda bola basket kemarin lusa.

kalau kata yeji, haikal dan riana memang sudah dekat, tapi sayangnya hubungan mereka sebatas teman saja padahal haikal sudah terlanjur cinta.

yang lia lakukan hanya melihat bagaimana lincah nya riana mengikuti langkah lari haikal yang sedang ketakutan saat riana mengacungkan genggaman tangannya seperti hendak meninju. entah apa masalahnya, tapi ketika haikal berhasil ditangkap riana dan ditonjok pipinya, lia merasa puas, anggap itu pembalasan secara tidak langsung dari lia perihal bola basket kemarin.

beralih dari lapangan, lia kembali menatap juna yang menunggu jawaban dari nya. "waktu di bandung aku gak betah, susah beradaptasi sama lingkungannya. papa kesel karena anak nya gagal terus menerus, jadi beliau pindahin aku ke jakarta."

juna mengangguk paham, meneguk air mineral nya lagi kemudian kembali menatap lia saat gadis itu mengajukan pertanyaan.

"kamu? kok bisa di jakarta?"

pemuda ini tak langsung menjawab, justru tertawa kecil tapi terkesan menyedihkan. "alasannya konyol, kamu mau tau?" tanya juna, lia mengangguk.

"karena aku udah naruh harapan sama jakarta buat bikin perasaanku lebih baik setelah kamu pergi," juna menggantungkan ucapannya, untuk melihat sejenak respon lia yang raut wajahnya masih murung.

"dan lihat sekarang, jakarta benar-benar mengabulkan keinginan aku. kamu disini sekarang, dan itu buat aku jauh lebih baik dari yang diharapkan." lanjut juna, merubah suasana hati lia menjadi lebih baik lagi. seperti biasa.

 seperti biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
percakapan asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang