Masih dalam momen #koronabikinmager aku balik bawa Kimkim. Buat kamu yang baru mampir, baca juga cerita You Told Me So. Untuk cerita komplitnya bisa ditemukan dalam bentuk buku di tokbuk ato olshop.
Kemaren aku nanya siapa yang siap peluk buku Kimkim, sekarang aku mau ngasih tau buat siap-siap di bulan depan pesan dan langsung peluk bukunya.
Seneeeeng dong...
Kuy, masih ada waktu sampai tanggal bertelurnya dirilis kalian nabung yang rajin. Tapi ingeeet, jangan ngepet pliiis 😂Dari atas kasur Bebek tanggal 17/06/2021 jam setengah 3, aku ucapkan selamat membaca dan jaga selalu kesehatan. Semoga kamu di sana selalu bahagia.
ANoK 9 dalam;
TidakBeban terberat Dinan semenjak menginjakan kaki kembali ke Jakarta adalah dua; menemui orangtuanya dan membiarkan Kimmy mengenal ibu kandungnya. Alasan pertama masih bisa ditangguhkan. Dia akan menundanya sampai kehidupannya cukup settle. Alasan kedua sudah pernah dia lakukan. Dampak alasan kedua lebih berat dibanding perkiraannya. Segala pikiran positif yang berusaha dia tanam, mati seketika saat Kimmy dan mantan istrinya bertemu.
Sore ini, dia akan bertemu mantan istrinya. Selviana. Wanita yang entah bagaimana selalu menghadirkan ketidaknyaman baginya. Padahal dulu, wanita itu yang membuatnya percaya bahwa dunia berjalan indah disebabkan keberadaan Selviana dalam hidupnya.
Pada pertemuan pertama, Dinan dan Selviana terpaku di meja. Saling menghindari tatapan. Kala itu Dinan mengenalkan Selviana sebagai bunda pada Kimmy. Biarlah waktu yang akan memberi pemahaman pada puterinya bagaimana hubungan dia dan mantan istrinya serta bagaimana dia, Kimmy, dan Selviana akan menjalin hubungan orangtua dan anak.
Kimmy tidak bertanya apapun. Gadis ciliknya hanya diam dan seru memakan banana cheese cake. Selviana juga gagal mengambil perhatian Kimmy, pertanyaannya tidak selalu mau dijawab Kimmy. Sejujurnya Dinan lega soal respon Kimmy kepada Selviana. Namun jika dipikir ulang, tidak pantas seorang ayah membiarkan kelakuan tidak sopan Kimmy terhadap ibu kandungnya. Lagi-lagi pikiran buruk muncul, Kimmy bisa saja memilih tinggal bersama ibunya daripada dia.
Lalu apa yang akan dilakukan Dinan tanpa Kimmy?
"Where papa go?" Tanya Kimmy dari kursi penumpang belakang. Kimmy duduk sendirian memainkan makanannya. Sesekali remahan camilannya jatuh mengotori babyseat.
"Papa mau mengajak Kimmy bertemu bunda. Bukannya Kimmy mau lihat dedek baby bunda?" Dinan mati-matian menahan emosinya. Kombinasi menakjubkan dari marah, kesal, dendam, dan benci. Hebatnya status papa Kimmy menekan kuat egonya yang luka akan masa lalu.
Itulah kekuatan Kimmy bagi Dinan, membuatnya tetap sadar dan normal. Unsur penting dirinya move on, begitu pendapat Ana.
"Bunda ada dedek baby. Aku ada dedek baby." Kimmy merogoh tepian babyseat. Dia mengeluarkan mainan kepik selebar tangannya. "Papa dedek baby da dak."
"Tidak ada," kata Dinan memperbaiki kesalahan ucap Kimmy.
"Yes. Da dak," kata Kimmy mengulang ucapan papanya.
"Kim, bukan 'da dak'. Coba ikuti papa." Susah memang mengobrol dan menyetir seperti yang Dinan lakoni saat ini. Tidak bisa menatap langsung lawan bicaranya dan mentok mengontrol Kimmy melalui spion tengah, Dinan harus tetap awas dalam mengemudi. Untung lalu lintas Sabtu sore ini lumayan lengang.
Andai Dinan punya pengasuh untuk Kimmy pasti acara mengobrol bisa diambil alih pengasuh, seminimalnya Dinan punya teman menjawab penasaran Kimmy. Sayang baru sebulan di Jakarta, sudah dua pengasuh mengundurkan diri.
Apa susahnya mengurus Kimmy, tinggal beri makan, itu pikiran Dinan dan Ana saat terakhir kali mereka saling teleponan. Tidak tahu saja mereka betapa bawel dan susah diaturnya Kimmy. She's the boss for the nanny dan nanny selalu bisa ditindasnya.
"Coba ikuti papa," ulang Kimmy sambil menyuap camilannya. Tidak sepenuhnya fokus pada ucapan Dinan.
"Bukan yang itu. Coba bilang 'tidak'."
"Edak," kata Kimmy. Mulutnya menyemburkan remahan camilan hingga ada yang jatuh ke bajunya. Dengan telaten dia mencomot remahan dan menyuap kembali.
"Ti-dak," tegas Dinan.
"Idak!" Naik satu oktaf suara Kimmy.
"Tidak, Kim. Tidak."
"Didak!" Naik dua oktaf.
"No shouting. Coba lagi 'tidak'," kata Dinan yang sadar hobi Kimmy berteriak.
Tangan Kimmy yang ingin menyuap camilan melayang di udara, tinggal sesenti lagi mencapai bibir. Bukan Kimmy jika mundur menyuap. Dia suap dulu camilan, menelannya, menarik napas, lalu "Titak."
Dinan rasanya mau menepikan mobilnya. Menghela napas jengah, mencari kopi paling pahit. Kopi Gayo Aceh mungkin tepat, pikirnya. Intinya, Dinan butuh jeda. Jeda dia bisa menarik diri, menetralisir emosi, dan kembali ke Kimmy sudah dalam porsi papa ideal.
Ya, itu jika bisa.
Nyatanya, tidak. Dia tidak punya siapapun di sisinya yang bisa mendidik Kimmy. He's alone.
"Pelan-pelan, Kim. Ucapnya begini, TI-"
"Ti," potong Kimmy antusias.
Dinan menarik napas. Yang sabar, demi anak. Dia melanjutkan, "Dak."
"Dak."
"Sekarang bilang 'tidak'."
"DIDAK!" Seru Kimmy dengan dua tangan terentang ke atas.
Dan di balik kemudi, Dinan mengusap wajahnya menggunakan tangan kiri. Wajah lelahnya berganti geli saat mengintip tingkah Kimmy melalui spion tengah. Puterinya menimang-nimang mainan kepik itu layaknya bayi yang digendong.
Detik berikutnya, Kimmy lempar mainan ke kursi belakang. Dan balik menghabiskan camilannya.
"Kimmy dedek baby bobok, Kimmy makan," katanya bermonolog pada camilannya.
Sekali lagi, Dinan mengusap wajahnya. Dua kali lipat lebih lelah namun juga senang.
***
"Hai, Din." Seorang pria berdiri tegap membuka lebar pintu untuk Dinan dan Kimmy.
Entah berapa lama, Dinan lupa rasanya bernapas saat dia harus kembali melihat wajah pria itu. Pria yang sudah merebut hati Selviana. Pria yang meluluhlantakkan cinta dan kepercayaannya, juga menjebak Kimmy dalam situasi ini. Tapi dia tidak mau lagi mengurung dirinya dalam pemikiran sempit tersebut. Selviana tidak akan pernah lari ke hati pria lain jika dia mencukupi kebahagiaan istrinya. Kisahnya berakhir perpisahan, membuktikan bukan hanya Selviana dan Bayu -pria di depannya- yang menjadi penyebab kehancuran tiga tahun silam. Dia pun turut ambil porsi, bahkan bisa disebut dia pemacunya.
"Hai, Bay." Dinan menggenggam erat tangan Kimmy. Ketakutan kembali menyergap. Bagaimana jika genggaman tangan Kimmy berpindah ke Bayu? Bagaimana jika Bayu dipanggil ayah? Apa dia masih sanggup bertahan?
"Ini pasti Kimmy." Bayu memandang takjub anak perempuan yang berdiri diam di sisi Dinan. Bayu menundukan badannya, menatap lebih dekat betapa imutnya balita gemuk mantan istrinya. "Hai, Kimmy," sapanya.
Kimmy diam. Hanya menatap balik tanpa upaya membalas sapaan pria dewasa di depannya.
"Aku..." Bayu melirik Dinan yang diam saja melihat interaksi yang berusaha dia buat bersama anaknya. Menghormati keberadaan Dinan, Bayu melanjutkan perkataannya. "Om Bayu. Bunda Kimmy ada di dalam sama dedek baby. Mau bertemu?"
Kimmy mendongak. Sekian detik matanya bertemu Dinan. Berbagi rasa lewat mata.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
A Note of Kim
General FictionRATE +5 Tokoh utamanya bayi gendut. Jangan baca kalo gak mau obesitas!! Dinan kembali pulang ke Jakarta setelah sembilan tahun bertahan di NY. Bersama balita gemuknya, duda muda ini berharap dapat memperbaiki hubungan dengan orangtuanya yang sempat...