Pagi ini aku melihat ka Hadi sedang duduk di teras ruang guru. Aku menemuinya ya jam pelajaran masih lama.
"Pagi Kak," sapaku, tas sudah ku taruh dibangku kelas. Sedang aria kala itu belum datang. Aria memang hobi telat akhir-akhir ini. Entah sepertinya masalah internal keluarga.
"Iya ada apa ran?," timpalnya balik. "Nggak papa ka, nyapa aja sih," balasku tersenyum, begitu serius obrolan ka hadi semenjak menjadi guru.
Belum sempat aku membuka pembicaraan, marveil lewat dan kak Hadi menguruhnya kemari. "Marvel sini," ujar kak hadi menggerakan tangan tanda menyuruh mendekat. "Iya Pak ada apa?," sapa marveil santun kali ini, tidak seperti nada bicara biasanya.
"Bapak minta tolong beliin teh botol di koperasi ya," ujar kak hadi. Entah kata ganti "pa" pada kak hadi rasanya masih aneh ditelingaku. Wajar kalau marveil memanggilnya pa, karena memang kak hadi mengajar di kelas X.
"Ini uangnya, nanti kembaliannya buat kamu," sambung kak hadi. "Lah kakak tahu dia, emang kakak ngajar anak ips?," tanyaku karena seingatku kak hadi mengajar anak ipa saja.
"Ya tahu lah ran, masa enggak tahu, orang di kantor tuh kalau nggak bicarain dia 1 hari kayaknya aneh, pasti semua guru laporan tentang dia
emang anaknya jahil sih," ujar kak hadi lepas."Iya kak bener banget, kata temen-temennya juga gitu," ujarku. "Emang kenyataannya gitu, kalau dikelas juga nggak bisa diem tuh anak satu," ujar kak hadi. Pembicaraan ini seperti bukan percakapan guru dan murid tapi jatuhnya seperti sesi curhat menyurhat.
"Oh ya, Kakak denger-denger kamu lagi deketin cewek ya, anak kelas X IPA," ujar kak hadi tegas. "Bentar-bentar deh, kakak tahu itu dari mana?," ujarku sembarang dan terkejut. Bagaimana kak hadi bisa tahu itu.
Aku masih gak nyangka. Kak hadi tahu masalah pribadiku ini kan harusnya privat. "Jangan-jangan si Aria nih yang ngasih tahu, awas aja tuh anak," gerutuku dalam hati. Aku berjanji akan menghabisi aria jika dia yang membeberkan hal ini ke kak hadi.
"Kak tahu dari dialah," ujar kak hadi sambil menunjuk ke arah marveil yang sedang berjalan menuju arah kita, setelah selesai dengan tugasnya membeli minuman sesuai pinta kak hadi tadi.
Kalimat terakhir kak hadi seketika memecahkan peperangan di otakku yang sejak tadi tertegun dan berpikir negatif tentang aria. "Gimana-gimana, maksud kakak, marveil yang ngasih tahu, gitu?," aku bener-bener tertegun dan kaget. Marveil tenyata ember.
"Ya iyalah, terus dari siapa lagi," ujar kak hadi santay. Sebelum marveil benar-benar sampai dihadapan kami.
"Hm pantesan tahu semuanya," ujarku sedikit membenarkan posisi. "Awas aja kau marveil," sarkasku dalam hati.
"Saya butuh mata-mata, supaya saya bisa memantau kinerja kalian di sini," jelas ka Hadi. "Kakak juga mau tahu kehidupan kalian sebagai dewan, untuk ya sekedar menyamakan frekuensi pembicaraan," jelasnya lagi.
"Jahil banget punya pembantu pembina," ucapku sarkas. "Ini pak minumannya saya pergi dulu ya," ujar marveil dengan terburu-buru. Aku hendak mengejarnya. Namun ka hadi mulai berbicara kembali, tak enak rasanya jika meninggalkan percakapan yang menggantung apa lagi lawan bicaranya adalah orang yang lebih tua.
"Kakak tuh sebenernya bukan jahil, tapi iseng sama sedikit kepo aja," ungkap ka hadi disusul dengan meneguk minuman yang dibelinya tadi melalui perantara marveil.
Aku tidak berkata kembali, mood ku bener-bener kacau. Privat seperti ini malah bocor, aku malu, mau ditaruh dimana nih muka. Untungnya saja marveil tidak menyebut nama ria saat dia bercerita aku sedang deket dengan adik kelas ipa.
"Oh ya gimana kelanjutan latihan lomba," tanya kak hadi melanjutkan pembicaraan. Kini arah pembicaraannya serius, aku paham itu. "Hm, nanti sore kayaknya ada latihan deh ka," jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Gantung Harapanku di Sebatas Patok Tenda
RomanceMenjadi senior tak membuat diriku semena-mena. Cerita cinta masa remaja, membuatku merasa memiliki hal aneh terutama masalah perasaan, sakit hati untuk pertama kali bahkan rasa dari cinta pertama yang sulit dihilangkan. Namanya Ria, adik kelasku, ci...