")
Ria, ya dia cantik. Membuat nyaman?, apa aku mulai merasakan itu?. Entah rasa sakit hati yang kemarin itu, kini berubah menjadi jantung yang kembali berdetak 2 kali lipat dari jantung orang normal, setiap kali aku bertemu dengannya.
Ya, mungkin, nyaman adalah kata yang cocok dengan keadaan hatiku saat ini.
***
Aku sedang duduk di teras kelas, ini berbanding terbalik dengan aria yang sedang sibuk membereskan sanggar, selain hari ini adalah piketnya, dia juga bertugas sebagai pengawas kebersihan, itu memang tugas sarpras.
Aku sedang membuka buku mapel waktu itu, karena sebentar lagi pts. Sekedar mempersiapkan saja, lagian dari pada gabut mending belajar. Canda belajar.
Lalu dari belakang terdengar suara yang tak asing ditelingaku itu suara ria. "Kak randju," ujar sapanya lembut. Aku refleks berbalik badan karena kaget. "Eh ri, ada apa?," ujarku dengan berusaha menangkap buku yang hampir saja terjatuh.
"Ka, aku boleh minta tolong?," ujarnya dengan wajah memolos. "Boleh," ujarku dengan nada terbata. "Boleh kok ri, emang minta tolong apa ya?," tanyaku, meyakinkan.
"Ini ka, ria disuruh bayar uang buku ke TU, tapi ria takut sendirian, boleh anter ria enggak ka?," ujarnya dengan nada super pelan sambil menodongkan uang di tangannya. Itu pecahan ratusan ribu, entah ada berapa.
Beruntungnya saat itu telingaku sedang normal. Gak kumat budeg nya. "Boleh, yuk kakak anterin," ujarku sambil menandakan tangan mengajak.
"Iya ka, maaf ya ngerepotin, soalnya natalie lagi sakit," ujar ria sambil berjalan mengikutiku. Kami berjalan berbanjar, aku di depan dan ria membuntutiku di belakang. Sudah layak seperti kereta, bukan!.
"Oh," jawabku singkat, entah kalimat lain sepertinya susah untuk keluar dari mulut ini.
"Oh iya ka, emang kalau bayar ginian di siapa sih, ria lupa namanya?," dia bertanya, dia membuka topik pembicaraan dengan baik dan itu adalah hal yang ku tak bisa. "Oh itu, ibu Euis," jawabku singkat.
Sesampainya di depan TU, aku hanya menunggunya di depan sana. "Kakak tunggu disini aja ya," ujarku.
"Yaudah deh ka," balasnya lembut dan kemudian masuk ke dalam. Aku hanya membuka buku mapel yang sedari tadi ada ditanganku sambil menunggunya, ya ria maksudku.
Selesai itu, ria pun keluar. Belum sempat aku membuka pembicaraan, dia justru dengan bersemangat bercerita. Ini beda banget dengan siapapun yang pernah aku kenal. Termasuk adel. Entah nama itu masih lekat diingatan, meski rasa sakitnya sudah mulai menghilang.
"Sumpah ka, aku bener-bener deg-deg-an," ujarnya sambil mengelus dada untuk menekan rasa deg-degannya itu. Dia begitu excited.
"Deg-degan kenapa?," tanyaku sambil tersenyum kecil. "Emang baru pertama kali ya bayar apa-apa sendiri?," sambungku lagi.
"Iya ka, biasanya kalau enggak mama ya bibi. Jadi, ya, kali ini pertama kalinya, aku bayar uang sekolah sendiri," ungkapnya. Wow fakta yang mencengangkan.
"Oh iya kakak lagi belajar ya, emang ada ulangan ya di kelas?," tanyanya, ketika ia sadar aku membawa buku sedari tadi. "Eh, enggak kok ri, ini cuma gabut aja, ngisi waktu luang gitu," jawabku, buset sok pinter banget.
"Makasih ya," ujarnya dengan santay. "Buat?," tanyaku singkat dengan nada bingung. "Karena udah ngenterin ria barusan," balasnya santay dan senyumnya yang tulus. "Santay aja kali ri, gak masalah kok," timpalku balik.
Kemudian dia berlalu menuju kelasnya. Aku pun kembali seraya menggelengkan kepala, tak percaya dia begitu spesial sekarang, entah sebagai teman ngobrol yang asik atau sekedar pengobat luka dari adel, aku tak bisa memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Gantung Harapanku di Sebatas Patok Tenda
RomanceMenjadi senior tak membuat diriku semena-mena. Cerita cinta masa remaja, membuatku merasa memiliki hal aneh terutama masalah perasaan, sakit hati untuk pertama kali bahkan rasa dari cinta pertama yang sulit dihilangkan. Namanya Ria, adik kelasku, ci...